Minggu, 02 Agustus 2009

Skrisi

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) mengamanatkan bahwa dalam upaya untuk mewujudkan tata kehidupan yang dicita-citakan yaitu masyrakat adil dan makmur, perlu dilaksanakan pembangunan yang bertahap, berlanjut dan berkesinambungan, baik yang sifatnya fisik maupun non fisik.

Dalam proses pembangunan tersebut diharapkan hubungan yang serasi antara masing-masing pihak, baik masyarakat (individu/kelompok) maupun pemerintah tetap terjaga, karena bagaimanapun juga dengan dilaksanakannya proses pembangunan ini disadari atau tidak akan banyak menimbulkan perubahan, yang pada kondisi tertentu prubahan-perubahan inipun akan menimbulkan persinggungan-persinggungan antara dua kepentingan yang berbeda, yaitu antara kepentingan pemerintah disatu sisi dan kepentingan masyarakat di sisi lain.

Apa yang menjadi harapan dan apa yang menjadi kenyataan sering kali berbeda, keserasian yang diharapkan timbul pada saat dilaksanakannya proses pembangunan ternyata tidak pernah muncul. Bahkan sebaliknya, persengketaan dan perselisihan yang tidak diharapkan antara pemerintah dengan masyarakat justru sering kali menghiasi jalannya roda pembangunan.

Pemerintah memandang bahwa keputusan yang dikeluarkannya sudah tepat, tetapi masyarakat memandang bahwa keputusan itu merugikan kepeningannya, begitulah sengketa terus bergulir. Kepentingan antara pemerintah dengan masyarakat sering kali tidak sejalan. Bahkan, cenderung selalu bertolak belakang, apapun sebabnya masing-masing pihak tetap menganggap bahwa pihaknyalah yang benar dan begitupun sebaliknya. Oleh karena itu, di tengah adanya ketidaksamaan pendapat, dalam upaya menjamin adanya penyelesaian yang adil (memuaskan kedua belah pihak), dicarilah upaya penyelesaiannya.

Apabila sengketa/perbedaan pendapat tersebut dapat diselesaikan secara musyawarah, tidak perlu diperdebatkan, persoalan akan menjadi lain apabila terhadap masalah tersebut kesepakatan yang diharapkan muncul tidak pernah datang. Akibatnya, dapat dipastikan bahwa masalah akan bergulir sampai ke Pengadilan.

Kenyataan-kenyataan tersebut akan semakin sering muncul dalam suatu negara yang sedang mengalami poses pembangunan. Dalam negara seperti ini peran pemerintah dalam proses pembangunan akan semakin aktif, sehingga kemungkinan terjadinya perselisihan akibat adanya keputusan-keputusan pemerintah, yang timbul antara pemerintah (yang diwakili oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara) dengan masyarakat tidak dapat dihindarkan.

Oleh karena itu, dengan memandang bahwa konflik yang terjadi antara pemerintah (yang diwakili oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara) dengan masyarakat (perorangan/kelompok) akan terus bergulir disamping adanya amanat dari Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1978 dihubungkan dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor II/MPR/1983 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara. Karenanya dibentuklah Peradilan Tata Usaha Negara.

Perlu ditekankan bahwa pembentukan Peradilan tata Usaha Negara ini tidaklah semata-mata untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak perseorangan, tetapi lebih dari itu untuk melindungi hak-hak masyarakat secara menyeluruh.

Sebagaimana dikatakan dalam konsideran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, diharapkan Peradilan ini memberikan Pengayoman kepada masyarakat, khususnya antara Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dengan masyarakat.

Bagi mereka yang memilih pengabdian dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), 14 Januari--walaupun tidak dirayakan selalu diingat sebagai hari lahir "si bungsu": Pengadilan Tata Usaha Negara.

Dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 17 tanggal 14 Januari 1991 tentang Penerapan Undang-Undang Nomor 5/1986 tentang PTUN, mulailah beroperasi Lembaga PTUN di Republik ini.

Eksistensi dan kelahiran lembaga ini, kita ketahui, melalui suatu proses yang panjang. Diawali perintah dari Menteri Kehakiman Mr. Susanto Tirto Prodjo pada tahun 1948 kepada Dr. Wiryono Prodjodikoro untuk membidani lembaga semacam ini, kemudian disusul dengan suatu rancangan undang-undang tahun 1949 tentang acara perkara dalam soal Tata Usaha Pemerintah. Usaha tersebut tentunya belum membawa hasil, mengingat pada saat itu kita masih berjuang dan bertempur secara fisik melawan kolonialisme Belanda.

Urgensi mengadakan suatu Peradilan Tata Usaha Negara tidak hanya dimaksudkan sebagai pengawasan intern terhadap pelaksanaan Hukum Administrasi Negara sesuai dengan asas-asas yang berlaku bagi (dan harus dipegang teguh oleh) suatu Negara Hukum. Akan tetapi, yang benar-benar berfungsi sebagai badan peradilan yang secara bebas mengadili pelaksanaan Hukum Administrasi Negara itu yang dilaksanakan oleh Pejabat eksekutif kita.[1]

Kebutuhan akan lahirnya Peradilan Tata Usaha Negara tidaklah dimaksudkan sebagai upaya menakut-nakuti Pejabat Administrasi Negara dalam mengambil keputusan, sebagaimana kita ketahui dalam proses beracara di Peradilan Tata Usaha Negara posisi pemerintah (Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara) selalu dalam posisi tergugat. Apalagi Rumusan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara pada pokonya menyebutkan sengketa yang timbul dalam setiap Peradilan Tata Usaha Negara selalu berakar dari adanya suatu penetapan tertulis (keputusan) dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisikan tindakan/perbuatan Tata Usaha Negara yang dirasakan oleh seseorang atau Badan Hukum Perdata merugikan kepentingannya atau melanggar hak-haknya.

Kesan ini pun terlihat jika kita memperhatiakan pengertian Peradilan Tata Usaha Negara dari Prof. Prajudi Atmosudirjo, yang menyatakan bahwa, Peradilan Administrasi Negara adalah setiap bentuk penyelesaian daripada suatu perbuatan (pejabat/instansi) Administrasi Negara yang dipersoalkan oleh warga masyarakat, instansi masyarakat (perusahaan, yayasan, perhimpunan dan sebagainya) atau sesama insatansi pemerintah.[2]

Justru dengan adanya Peradilan Tata Usaha Negara ini diharapkan dalam setiap menjalankan kewenangannya Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara Selalu diingatkan untuk tidak secara mudah mengambil suatu keputusan yang sifatnya pragmatis, hanya memandang dari segi kemanfaatan saja. Bahkan, lebih buruk lagi selalu bersembunyi di balik ungkapan The King can do not wrong.

Dengan adanya Peradilan Tata Usaha Negara sebagai lembaga pengontrol, diharapkan setiap tindakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dalam melaksanakan kewenangannya akan selalu berpedoman pada asas-asas umum pemerintahan yang baik (general principil of good administration).

Asas-asas ini telah sewajarnya jadi pegangan badan-badan administrasi dalam melakukan tindakan-tindakan pemerintahan antara lain membuat penetapan-penetapan, kalau hendak dilaksanakan sungguh-sungguh prinsip-prinsip Negara Hukum, yang mengayomi rakyat demi kepastian Hukum dan keadilan bagi sebanyak mungkin rakyat.

Jadi teranglah bahwa Perailan Tata Usaha Negara diciptakan dalam upaya menyelesaikan setiap sengketa yang muncul dalam masyarakat, yang terjadi antara Pemerintah (Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara) yang timbul akibat adanya tindakan-tindakan Pemerintah yang dianggap melanggar hak warga negaranya.

Dengan diundangkannya Undang–Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara Jo. Undang–Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1986, maka genaplah Peradilan yang disyaratkan oleh Pasal 10 ayat (1) Undang–Undang Nomor 14 Tahun 1974 Jo. Undang – Undang Nomor 4 Tahun 2004 di atas.

Dalam Undang–Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jo. Undang–Undang Nomor 9 Tahun 2004 mengatur tentang susunan, kekuasaan, hukum acara dan kedudukan, hakim serta tata kerja administrasi pada Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.

Disetiap daeran tingkat II dibentuk Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang berkedudukan di Kotamadya atau Kabupaten. Sedangkan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara berkedudukan di Ibukota Provinsi dan berpuncak pada Mahkamah Agung yang berkedudukan di Ibukota Negara sebagai Lembaga Peradilan tertinggi di Indonesia.

Dalam suatu pemerintahan yang telah melaksanakan prinsip-prinsip pemeintahan yang baik idealnya akan terhindar dari bentuk-bentuk pengambilan kebijakan (keputusan) yang dapat merugkan masyarakat luas. Pada kenyataannya pelaksanaan administrasi yang baik belum menjamin terhindarnya masyarakat dari keputusan-keputusan pemerintah yang merugikan.

Perbuatan-perbuatan Administrasi Negara (Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara) yang dipersoalkan pada umumnya adalah perbuatan Hukum Administrasi (Negara) Yang mengandung kekurangan (keanehan, keganjilan, kekeliruan, kesalahan, terlambat, dsb.).[3]

Banyak faktor yang mempengaruhi suatu keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang meugikan masyarakat, antara lain :

1. Adanya peraturan Perundang-undangan yang tidak jelas atau tidak lengkap,

2. Kurangnya pedoman dan petunjuk pelaksanaannya,

3. Kurangnya pendidikan dan latihan jabatan pegawai sehingga mereka kurang menguasai urusan serta tata cara pelaksanaannya.

4. Kurangnya organisasi manajemen yang diperlukan.

5. Kurangnya alat-alat bekerja yang modern yang meningkatkan efisiensi.[4]

Dalam melaksanakan wewenang tersebut pemerintah membuat suatu keputusan yang merugikan masyarakat, sudah barang tentu masyarakat tidak akan tinggal diam. Oleh karena itu dicarilah cara-cara untuk menyelesaikannya. Cara yang paling banyak ditempuh oleh masyarakat dalam menyelesaikan masalahnya dengan pemerintah adalah melalui gugatan ke Pengadilan. Persoalannya adalah tidak semua pengadilan dapat atau berwenang untuk menyelesaikan kasus seperti ini, sebagaimana kita ketahui bahwa di Indonesia berdasarkan Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-aketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, adanya 4 (empat) lingkungan Peradilan, yakni :

a. Peradilan Umum,

b. Peradilan Agama,

c. Peradilan Militer, dan

d. Peradilan Tata Usaha Negara.

Oleh Karena itu, untuk dapat menentukan apakah Pengadilan Tata Usaha Negara berwenang atau tidak untuk memeriksa perkara yang diajukan kepadanya, maka perlu diperhatikan beberapa hal, antara lain :

a. Siapakah yang bersengketa (subyek)? Yaitu Orang atau Badan Hukum Perdata di satu pihak dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara di lain pihak.

b. Apa yang disengketakan (obyek)? Yaitu keputusan-keputusan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.

Untuk lebih memperjelas mengenai pengertian di atas, berikut akan diuraikan kedua hal tersebut.

a. Siapakah Yang Bersengketa (Subyek)?

Menentukan subyek yang bersengketa sangat penting dalam menentukan lingkungan peradilan mana yang akan memeriksanya, kesalahan di dalam menentukan pengadilan mana yang seharusnya memeriksa akan berakibat fatal bagi pihak yang akan menggugat.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara tidak menentukan secara tegas dalam pasal-pasalnya pihak-pihak mana sajakah yang dapat berperkara di Pengadilan Tata Usaha Negara. Sekalipun demikian jika memperhatikan pasal 1 angka 4 yang mengatur pengertian sengketa Tata Usaha Negara, dapat diketahui bahwa pihak-pihak yang bersengketa terdiri dari orang atau Badn Hukum Perdata atau Pejabat Tata Usaha Negara baik di daerah maupun di pusat.

Pengertian Orang sebagaimana disebutkan di atas mengacu pada kedudukan perorangan atau individu- individu atau biasa disebut dengan istiah Natuurlijke Persoon, dalam hal ini cakap untuk dapat melakukan berbagai perbuatan hukum atau dengan di dalam Hukum.[5]

Untuk menjelaskan mengenai pengertian Badan Hukum Perdata menimbulkan permasalahan tersendiri, yaitu apakah istilah Badan Hukum recht persoon ini merupaka istilah yang sesunguhnya/bukan (Pengertian menurut ilmu hukum). Dalam pengertian ini istilah Badan Hukum mengacu pada suatu badan (yang diwakili oleh organ badan itu) yang dapat bertindak keluar atas nama badan tersebut sehingga segala konsekuensi yang timbul sebagai akibat tindakannya merupakan tanggungjawab badan tersebut, atau Prof. Soebekti mengistilahkan sebagai Badan-badan dan perkumpulan yang mempunyai kekayaan sendiri, ikut serta dalam lalu lintas hukum dengan perantaraan pengurusnya, dapat digugat dan dapat juga menggugat di muka Hakim.[6]

Adapun badan-badan yang termasuk dalam kelompok ini hanya meliputi Perseroan Terbatas (PT), Koperasi, Yayasan, ataukah pengertian Badan Hukum ini hanya menunjukkan suatu gambaran dari bentuk suatu badan usaha saja tanpa membeda-bedakan antara badan yang berbadan hukum dan tidak, dalam kelompok ini termasuk di dalamnya Persekuutuan Komanditer (CV) dan Firma (Fa). Penegasan penggunaan istilah tersebut menjadi sangat penting. Jika yang dimaksud pengertian Perdata ini adalah pengertian yang pertama, bagi Persekutuan Komanditer (CV) dan Firma (Fa) tidak dapat mengajukan Gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara, karena bagaimanapun juga terhadap kedua badan tersebut belum adanya pengakuan secara formal sebagai Badan Hukum, sekalipun secara materiil kedua badan tersebut memenuhi kualifikasi sebagai badan hukum, memang mengenai kedudukan tersebut sejak lama merupakan polemik diantara ahli-ahli hukum.

Perihal siapakah yang dimaksud dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, Penjelasan dari Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tidak memberikan penjelasan yang lengkap. Dalam penjelasannya hanya menyebutkan bahwa Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat di pusat dan di daerah yang melakukan kegiatan yang bersifat eksekutif, sehingga untuk setiap tindakan dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersifat Yudikatif, misalnya Putusan Pengadilan dan Lembaga Legislatif berupa Perundang-Undangan dalam berbagai tindakan tidak dapat diajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.

Martiman Prodjodihardojo, S.H. dalam bukunya Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara yang berwenang untuk mengeluarkan Surat Keputusan Tata Usaha Negara adalah lembaga-lembaga atau instansi-instansi yang memiliki kewenangan menjalankan urusan pemerintahan berdasarkan Perundang-undangan yang berlaku, dan persekutuan-persekutuan di bidang dagang, industri, pertanian dan lainnya yang didirikan oleh kekuasaan umum[7]. Termasuk dalam kelompok ini adalah aparat perdagangan, perekonomian, perindustrian negara yang merupakan lembaga yang melakukan tugas-tugas negara di bidang usaha negara, misalnya, Perusahaan Jawatan, Perusahaan Umum, PT. PERSERO.

2. Apa yang disengketakan (Obyek)

Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara tidak menentukan secara tegas apa yang menjadi obyek sengketa dalam Peradilan Tata Usaha Negara, tetapi apabila memperhatikan secara cermat ketentuan Pasal 1 angka 4 mengenai pengertian Sengketa Tata usaha Negara secara implisit kita dapat mengetahui apa yang menjadi obyek persengketaan.

Selengkapnya pasal 1 angka 4 menyatakan Sengketa Tata Usaha Negara adalah ssengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara Orang Badan Hukum Perdata dengan Badan atau Pejabat Tata kepegawaian menurut perundang-undangan yang berlaku.

Dari ketentuan pasal 1 angka 4 di atas dapat disimpulkan bahwa yang menjadi obyek persengketaan antara Orang atau Badan Hukum Perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalh suatu keputusan yang di keluarkan oleh Badan tersebut.

Di samping itu dari ketentuan di atas dapat disimpulkan hal lain yaitu Perbuatan/kewenangan bertindak dari Badan atau Pejabat tata Usaha Negara yang dapat digugat oleh masyarakat hanyalah berupa keputusan (berschiking) dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Kita ketahui bahwa kewengangan pemerintah untuk melakukan perbuatan tata Usaha Negara selain untuk mengeluarkan keputusan (berschiking) sebagaiman disebutkan di atas, juga meliputi perbuatan mengeluarkan peraturan (regeling) dan melakukan perbuatan materiil (materiil daad).

Wewenang untuk menilai peraturan yang dikeluarkan oleh Badan Tata Usaha Negara diserahkan kepada Mahkamah Konstitusi, sedangkan wewenang untuk menilai perbuatan materiil yang dilakukan oleh Badan Tata Usaha Negara diserahkan kepada Peradilan Umum.

B. Rumusan Dan Batasan Masalah

Dari uraian latar belakang di atas, maka penulis mengangkat pokok masalah yaitu : “Sejauh mana kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara dalam menangani kasus atau perkara yang berkaitan dengan sengketa Tata Usaha Negara khususnya yang berkaitan dengan Pasal 2 Undang – Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara serta bagaimana kedudukan dari hasil keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara tersebut”. Selanjutnya penulis akan menguraikan beberapa sub masalah, Yaitu sebagai berikut :

1. Apa yang mendasari Lahirnya Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia dan bagaimana kedudukan serta kewenangannya?

2. Apakah keputusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara tersebut berkekuatan hukum dan apakah dapat dijalankan seperti keputusan yang dikeluarkan oleh lembaga Peradilan yang lain.

C. Hipotesis

Dalam pembahasan ini penulis akan memberikan jawaban yang sifatnya sementara, yaitu :

1. Keberadaan Pengadilan Tata Usaha Usaha Negara di Indonesia didasari oleh Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jo.Undang – Undang Nomor 9 Tahun 2004. Dalam Pasal 2 Undang – Undang Nomor 14 Tahun 1970 Jo. Undang – Undang Nomor 4 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman juga disebutkan bahwa salah satu penyelenggara kekuasaan kehakiman di bawah Mahkamah Agung adalah Peradilan Tata Usaha Negara yang berwenang mengadil segketa atau perkara yang berkaitan dengan Tata Usaha Negara yang mampu menegakkan keadilan, kebenaran, ketertiban dan kepastian hukum dengan adil, jujur dan bertanggung jawab. Sehingga dapat memberikan perlindungan kepada masyarakat khususnya dalam hubungan antara Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dengan masyarakat.

2. Karena sesuai dengan Undang – Undang tentang Mahkamah Agung dan Undang – Undang tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa salah satu penyelenggara Kekuasaan Kehakiman adalah Pengadilan Tata Usaha Negara, maka sama halnya dengan lembaga Peradilan di lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama dan Peradilan Militer sepanjang telah mempunyai kekuatan hukum tetap maka keputusan tersebut wajib untuk dijalankan oleh pihak yang berperkara.

D. Pengertian Judul

Sebelum membahas lebih lanjut, maka penulis terlebih dahulu akan memberikan pengertian dari judul yang dibahas. Adapun judul Skripsi ini adalah “ Kewenangan Mengadili Sengketa Tata Usaha Negara Dalam Kaitannya Dengan Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jo.Undang – Undang Nomor 9 Tahun 2004”.

“Kewenangan” Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi kedua yang diterbitkan oleh Balai Pustaka, kewenangan mempunyai arti : 1. Hal wenang; 2. Hak dan kekuasaan yang dipunyai untuk melakukan sesuatu.[8]

“Mengadili” adalah memeriksa, menimbang, dan memutuskan (perkara, sengketa); menentukan mana yang benar (baik) dan mana yang salah (jahat).[9]

“Sengketa” adalah 1. Sesuatu yang menyebabkan perbedaan pendapat; pertengkaran; perbantahan; daerah yang menjadi rebutan (pokok pertengkaran); 2. Pertikaian; perselisihan; 3. Perkara (dalam pengadilan).[10]

“Tata Usaha Negara” adalah administrasi negara yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah.[11]

“Kaitan” 1. Kait; gancu. 2. Hubungan (sangkutan).

Jadi setelah mengetahui arti dari beberapa kata atau kalimat dasar dari judul yang akan dibahas, maka penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa Kewenangan Mengadili Sengketa Tata Usaha Negara Dalam Kaitannya Dengan Pasal 2 Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jo. Undang – Undang Nomor 9 Tahun 2004 adalah hak dan kekuasaan yang dimiliki oleh hakim untuk memeriksa, menimbang, dan memutuskan suatu perkara administrasi negara antara badan atau pejabat Tata Usaha Negara baik yang ada di pusat maupun yang ada di daerah dengan masyarakat dalam kaitannya dengan pasal 2 Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jo. Undang – Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Peradilan Tata saha Negara.

E. Tinjauan Pustaka

Dalam tinjauan pustaka ini, penulis bermaksud untuk menjelaskan masalah yang ada, bahwa hal ini masih jarang dibahas oleh penulis lain. Dan adapun kalau sudah pernah dibahas oleh penulis lain maka penulis akan membahasnya dari sudut pandang yang berbeda. Oleh karena itu penulis sangat tertarik untuk membahasnya.

Mengingat persoalan Tata Usaha Negara sangat penting untuk diketahui oleh masyarakat khususnya yang masih awam dengan persoalan hukum dan untuk menghindari perbuatan yang sewenang – wenang Badan Hukum atau Pejabat Publik, oleh karena itu Penulis akan mencoba membahasnya dalam bentuk Skripsi.

Dan untuk lebih mengarahkan dan menunjang keberhasilan penulisan Skripsi ini, maka penulis akan menggunakan beberapa buku yang berkaitan dengan pebahasan ini sebagai bahan referensi bagi penulis, diantaranya :

1. Hukum Acara Tata Usaha negara, Oleh Rozali Abdullah, SH.,

2. Pengantar Tata Hukum Indonesia, Oleh A. Siti Soetami, SH.,

3. Pokok – Pokok Peradilan Tata Usaha Negara, Oleh Victor Situmorang, SH.

4. Praktek-Praktek Peradilan Tata Usaha Negara Di Indonesia, Oleh O.C. Kaligis, S.H.

5. Kompetensi Relatif Dan Absolut Pengadilan Dalam Lingkungan Pengadilan Tata Usaha Negara. Oleh Benyamin Mangkudilaga.

Dan masih banyak lagi buku yang menjadi rujukan penulis dalam pembahasan ini.

F. Metode Penelitian

1. Metode Pengumpulan Data

a. Library research (penelitian pustaka), yaitu membaca buku - buku yang ada kaitannya dengan masalah – masalah yang akan dibahas, sperti : Undang – Undang Peradilan Tata Usaha Negara, Pengantar Ilmu Hukum, Pengantar Tata Hukum Indonesia serta buku – buku yang berkaitan dengan Peradilan Tata Usaha Negara.

1) Kutipan langsung, yaitu penulis mengutip langsung suatu pendapat tanpa merubah redaksi aslinya dari buku yang menjadi sumber rujukan atau referensi penulis.

2) Kutipan tidak langsung, yaitu penulis mengutip suatu pendapat dengan memberikan komentar dengan tanpa merubah makna dari pendapat tersebut.

b. Metode dokumentasi, adalah suatu cara pengumpulan data yang ditempuh dengan mempelajari berbagai macam dokumentasi atau arsip dan yang sejenisnya yang berkaitan dengan pembahasan.

2. Metode Pengolahan dan Analisis Data

Untuk menemukan konsep yang diinginkan, maka penulis mengolah data yang ada, selanjutnya di interpretasikan dalam bentuk konsep yang dapat mendukung obyek pembahasan. Dalam mengolah data tersebut, penulis menggunakan metode sebagai berikut :

a. Metode Induktif, yaitu menganalisis data dengan bertolak dari hal – hal yang bersifat khusus, kemudian mengambil kesimpulan yang bersifat umum.

b. Metode Deduktif, yaitu menganalisis data dengan bertolak dari hal – hal yang bersifat umum, kemudian mengambil suatu kesimpulan yang bersifat khusus.

c. Metode Komparatif, yaitu setiap data yang diperoleh baik yang bersifat umum maupun yang bersifat khusus, lalu dibandingkan dan selanjutnya menarik suatu kesimpulan yang lebih baik.

G. Tujuan dan Kegunaan

Tujuan dari penelitin yang dimaksud adalah untuk memperoleh target dari diadakannya penelitian ini antara lain :

1. Dengan penelitian ini diharapkan untuk dapat mengetahui Pengadilan mana yang berwenang mengadili sengketa Tata Usaha Negara.

2. Dengan penelitian ini diharapkan untuk dapat memahami dan mengetahui kompetensi atau wewenang suatu Lembaga Peradilan, khususnya Pengadilan Tata Usaha Negara.

Sedangkan kegunaan dari penelitian ini diharapkan mencapai beberapa hal, antara lain sebagai berikut :

1. Dengan penelitian ini maka diharapkan dapat menambah wawasan bagi masyarakat khususnya bagi penulis tentang lembaga Peradilan yang berwenang mengadili sengketa Tata Usaha Negara.

2. Dengan penelitian ini maka diharapkan dapat menjadi salah satu bahan informasi yang dapat menambah khasanah pengetahuan kita tentang Kewenangan mengadili sengketa Tata Usaha Negara yang sesuai dengan Perundang – undangan yang berlaku.

3.

BAB II

PERADILAN TATA USAHA NEGARA

A. Pengertian Peradilan Tata Usaha Negara

Peradilan Tata Usaha Negara adalah sebuah lembaga Peradilan yang mengadili sengketa administrasi Negara antara Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah dengan masyarakat terhadap sebuah keputusan Tata Usaha Negara.

Peradilan Tata Usaha Negara pada dasarnya menegakkan hukum publik, yakni hukum administrasi sebagaimana ditegakkan dalam Undang-Undang PTUN Pasal 47 bahwa sengketa yang termasuk lingkup kewenangan PTUN adalah Sengketa Tata Usaha Negara.

Peradilan Tata Usaha Negara melalui UU No 5 Tahun 1986 Jo. Undang-ndang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 pasal yang langsung menyangkut perlindungan hak-hak masyarakat adalah Pasal 49, pasal 55, dan pasal 67.

Pasal 49:

“Pengadilan tidak berwenang memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara tertentu dalam hal Keputusan yang disengketakan itu dikeluarkan:

a. Dalam watu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam atau keadaan luar biasa yang membahayakan, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

b. Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-udangan yang berlaku.

Pasal 55:

“Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu Sembilan puluh hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara”.

Pasal 67:

(1) Gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara serta tindakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara Yang digugat.

(2) Penggugat dapat mengajukan permohonan agar pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara itu ditunda selama pemeriksaan sengketa Tata usaha Negara sedang berjalan, sampai ada Keputusan Pengadilan yang memperoleh kekuatan hokum tetap.

(3) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat diajukan sekaligus dalam gugatan dan dapat diputus terlebih dahulu dari pokok sengketanya.

Sejarah perkembangan hukum terdapat macam-macam hukum baik hukum publik maupun hukum privat, Hukum Tata Negara, Hukum Tata Usaha Negara, Hukum Pidana merupakan bagian dari hukum publik sedangkan hukum perdata, hukum dagang merupakan bagian dari hukum privat. Kesamaan umum macam hukum publik, yaitu: Tiap peraturan hukum publik itu selalu mengenai hubungan hukum yang timbul atau dapat timbul sebagai akibat dari turut campurnya atau kepedulian pemerintah dalam suatu bidang kehidupan dalam masyarakat, ciri-ciri yang melekat pada hukum publik, khususnya Tata Usaha Negara adalah:

1. Menggambarkan berlakunya asas-asas yang dianut dalam suatu Negara hukum, seperti asas wetmatigheid, diakui hak-hak dasar manusia, kekuasaan dalam Negara yang tidak dipustakan pada suatu kekuasaan melainkan terbagi-bagi menurut bidang-bidang yang diperlukan, dan akhirnya berlaku pengawasan pengadilan (hukum) terhadap urusan pemerintah.

2. Hukum Tata Usaha Negara itu mengandung ide-ide kehidupan demokrasi, dimana dalam Hukum Tata Usaha Negara itu mengatur syrat-syarat prosedur pembentukan serta isi dari keputusan-keputusan pemerintah, antara lain:

a. Pembentukan Undang-Undang dilakukan oleh Pemerintah dengan Parlemen (DPR).

b. Hasil pemilu dapat merubah pemerintahan, kabinet kita setiap 5 tahun sekali dapat berubah susunannnya.

c. Keterbukaan dari jalannya urusan pemerintahan.

d. Diberikan kesempatan kepada mereka yang berkepentingan dengan suatu tindakan dengan pemerintah tertentu untuk memngemukakan pandangannya agar dipertimbangkan.

Butir a sudah d tersebut adalah mengenai prosedur pembentukan keputusan pemerintahan, sedangkan mengenai yang berkaitan dengan isi keputusan pemerintahan, ide kehidupan demokrasi yang mensyaratkan bahwa suatu keputusan pemerintahan itu seharusnya juga menghormati kepentingan golongan minoritas dan sejauh mungkin menghindarkan terjadinya ketidakbebasan dan ketidaksamaan perlakuan.

3. Dalam hukum Tata Usaha Negara itu yang berperan tidak hanya nilai-nilai yang berakar pada cita-cita kehidupan Negara hukum serta demokrasi saja, melainkan juga nilai-nilai yang merperkuat posisi warga masyarakat terhadap pemerintah.

Hukum Tata Usaha Negara juga memiliki ciri yang khas karena ia juga berkedudukan sebagai suatu instrumen pelaksanaan urusan pemerintahan, artinya Hukum Tata Usaha Negara itu juga memberikan sarana-sarana yuridis bagi pemerintah dalam pelaksanaan tugasnya melakukan suatu urusan pemerintahan. Pada Perundang-undangan administrtif maupun dalam praktek pemerintahan sehari-hari, disitu selalu sangat diperhatikan bagaimana caranya serta dengan sarana-sarana apa saja suatu tujuan pemerintahan disuatu bidang kehidupan masyarakat itu dapat dicapai dengan sebaik-baiknya, jadi dalam hal ini segi efektifitas dan efesiensi (doelmatigheid) merupakan hal-hal yang sangat diperhatikan dalam Hukum Tata Usaha Negara[12].

Dari apa yang digambarkan di atas dapat kita tarik beberapa titik-titik tolak yang berlaku untuk keseluruhan Hukum Tata Usaha Negara, baik Perundang-undangan Tata Usaha Negara ditingkat pusat maupun tingkat daerah pada bidang-bidang hukum pemerintahan (Tata Usaha Negara) serta tindakan-tindakan pemerintahan selalu harus dikaji kepada ukuran-ukuran yang dapat dicakup dalam pengertian-pengertian Negara hukum, demokrasi serta kedudukan Hukum Tata Usaha Negara sebagai instrumen pemerintahan, titik tolak mengenai Hukum Tata Usaha Negara sebagai berikut:

1. Negara Hukum:

a. Asas legalitas pemerintahan; wewenang pemerintahan harus nyata-nyata ada dasarnya dalam peraturan perundang-undangan, kesamaan dalam perlakuan, kepastian hukum.

b. Diakui hak-hak dasar manusia.

c. Kekuasaan dalam Negara itu tidak dipusatkan dalam satu tangan, melainkan ada pembagain kekuasaan: ada struktur kekuasaan yang mantap dalam Negara, berlakunya sistem pengawasan dan control.

d. Adanya peradilan yang bebas berwenang menilai dari segi hukum atas tindakan-tindakan pemerintahan.

2. Demokrasi

a. Kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat yang mandiri.

b. Dimungkinkan penggantian pemegang jabatan-jabatan pemerintahan.

c. Pelaksanaan urusan pemerintahan yang bersifat terbuka.

d. Dalam pelaksanaan urusan pemerintahan dimungkinkan masyarakat ikut menyampaikan pendapatnya secara umum maupun dalam konkretonya.

e. Sedapat mungkin dihilangkan lain-lain kepentingan yang tidak perlu.

3. Hukum Tata Usaha Neara sebagai instrumen pemerintahan

a. Hukum Tata Usaha Negara itu harus berlaku se-efektif mungkin.

b. Hukum Tata Usaha Negara itu harus berlaku se-efesien mungkin

3. Teori Kontrol Yudisial

Jaminan konstitusi yang lebih demokratis atas suatu Negara hukum Indonesia adalah buah dari reformasi hukum, namun karena hukum positif suatu Negara berpuncak pada konstitusi maka terlebih dahulu adanya amandemen konstitusi (amandement of constitution) diera transisi dari pemerintahan otoriter rezim Suharto menuju masa transisi paradigmatik, masa transisi bermuka dua, dimana satu sisi ketidakpastian dan banyak kemungkinan dan hasil dari proses transisi belum tentu Negara yang demokratis tetapi tidak jarang reinkarnasi Negara otoriter dalam wajah yang baru, disisi lain era transisi adalah suatu golden moment untuk melakukan reformasi konstitusi, namun perlu disadari tentunya buah reformasi konstitusi yang bervisi adanya check and balances system lembaga Negara ini tentunya akan berpengaruh pada peran lembaga eksekutif untuk mewujudkan lembaga eksekutif yang bersih.

Sebagai negara yang menjunjung tinggi hukum (supremation of law) dalam menjalankan pemerintahannya, faktor terpenting dalam penyelenggaraan pemerintahan yang bersih tentunya adalah faktor yang berkaitan dengan kontrol yudisial, kontrol yudisial adalah salah satu faktor yang efektif untuk mencegahterjadinya mal administrasi maupun berbagai bentuk penyalahgunaan kewenangan pemerintah lainnya, selain menyelesaikan sengketa administrasi, kontrol yudisial inilah yang mendasari konsepsi eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara yang tujuannya merupakan pelembagaan kontrol yudisial terhadap tindakan pemerintah (government act). Bertitik tolak dari kebutuhan untuk mengawasi secara yuridis perbuatan pemerintah yang mal administrasi maupun yang tergolong abuse of power, dengan tujuan akhir bahwa perbuatan pemerintah sebagai amanat rakyat tetap selalu berjalan diranah hukum, perundang-undangan, keadilan dan kemanfaatan sehinga terwujudnya tujuan Negara untuk mensejahterakan rakyat.

Menurut P.Nicolai dkk, “De bertuurechtelijke handhavings middelen omvatten (1) het toezich dat bertuurorganen kunnen uitoenfenen op de naleving van de bij of krachtens de wewt gestelde voorschriten en van de bij besluit individueel opgeledge verplichtingen; en (2) de toepassing van bestuursrechtelijk cancie bevoedheden” (sarana penegakan hukum adminitrasi berisi: (1) pengawasan bahwa organ pemerintahan dapat melaksanakan ketaatan pada atau berdasarkan undang-undang yang ditetapkan secara tertulis dan pengawasan terhadap keputusan yang meletakkan kewajiban kepada individu; dan, (2) penerapan kewenangan sangsi pemerintahan). Hans Kelsen berpendapat pengawasan hukum terhadap pemerintah oleh pengadilan tapi tidak perlu menjadi kewenangan pengadilan biasa, pengawasan hukum tata usaha ini harus diserahkan kepada kepada pengadilan khusus, fakta bahwa pengawasan administratif oleh pengadilan dianggap penting member keterangan yang jelas tentang kekurangan- kekuranangan dari teori pemisahan kekuasaan, prinsip pemisahan kekuasaan ini akan tampak menghendaki bahwa tidak satupun dari tiga kekuasaan itu harus diawasi masing-masing dari kedua kekuasaan lainnya. Prinsip pemisahan kekuasaan yang dituntut untuk membenarkan pengawasan yang sangat ketat atas pemerintah oleh pengadilan, suatu keadaaan yang dicapai dimana organ-organ administratif harus merujuk kepada pengadilan hukum-hukum administratif.

Sementara Paulus Efendi Lotulung mengemukakan beberapa macam pengawasan dalam hukum administrasi negara, yaitu bahwa ditinjau dari segi kedudukan dari badan/organ yang melaksanakan kontrol itu terhadap badan/organ yang dikontrol dapatlah dibedakan kontrol ektern dan intern. Kontrol intern berarti bahwa pengawasan itu dilakukan oleh badan yang secara organistoris/ struktual masih termasuk dalam lingkungan pemerintahan sendiri, sedangkan kontrol ekstern adalah pengawasan yang dilakukan oleh badan/ lembaga yang secara organisatoris/ struktural berada diluar pemerintah. Ditinjau dari segi waktu dilaksanakannya pengawasan atau kontrol dibedakan dalam dua jenis, yaitu kontrol a-priori dan kontrol a-posteriori. Kontrol a-priori terjadi bila pengawasan itu dilaksanakan sebelum dikeluarkannya keputusan atau ketetapan pemerintah sedangkan kontrol a-posteriori terjadi bila pengawasan itu baru dilaksanakan sesudah dikeluarkannya keputusan atau ketetapan pemerintah, selain itu kontrol dapat pula ditinjau dari segi objek yang diawasi, yang terdiri dari kontrol dari segi hukum (rechtmatigheid) dan kontrol dari segi kemanfaatan (doelmatigheid).

Kontrol dari segi hukum dimaksudkan untuk menilai segi-segi atau pertimbangan yang bersifat hukum saja (segi legalitas) yaitu, segi rechtmatigheid dari perbutan pemerintah, sedangkan kontrol dari segi kemanfaatan dimaksudkan untuk menilai benar tidaknya perbuatan pemerintah itu dari segi atau pertimbangan kemanfaatan. Sesudah mengadakan pembagian pengawasan tersebut, lebih lanjut Paulus Efendi Lotulung mengatakan bahwa kontrol yang dilakukan oleh peradilan dalam hukum administrasi Negara mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

1. Ekstern, karena dilakukan oleh suatu badan/lembaga diluar pemerintahan.

2. Aposteriori, karena selalu dilakukan sesudah terjadinya perbuatan yang dikontrol.

3. Legalitas atau kontrol segi hukum karena hanya menilai dan segi hukum saja.

Kontrol Yudisial terhadap tindakan pemerintah merupakan penilaian tentang syah atau tidaknya suatu perbuatan pemerintah yang menimbulkan akibat hukum yang dilakukan oleh lembaga peradilan, jika dikaitkan dengan kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara maka yang dinilai secara yuridis adalah keputusan Tata Usaha Negara, dalam lembaga peradilan yang berwenang melakukan pemeriksaaan, sampai memberikan putusan adalah hakim peradilan. Hakim Peradilan Tata Usaha Negara hanya berwenang menilai dari segi hukumnya dari kepentingan-kepentingan yang saling berbenturan, dengan kata lain Hakim Peradilan Tata Usaha Negara mengadkan kontrol/ pengawsan terbatas terhadap perbuatan pemerintah mengenai aspek-aspek hukumnya, artinya mengadakan pengawasan apakah pada penentuan tentang kepentingan umum oleh pemerintah itu tidak mengurangi hak-hak individu yang adil secara tidak seimbang. Dapat disimpulkan bahwa hakim hanya memberikan penilaian/pengawasan apakah tindakan administrasi Negara dalam menyelenggarakan pemerintahan itu termasuk sebagai perbuatan yang disebut onrechtmatige overheidsdaad.

4. Mal administrasi dan Abuse of Power

Pemerintah sebagai lembaga eksekutif Negara tentunya akan mencampuri kehidupan warga negaranya, terdapat alasan mengapa pemerintah mencampuri urusan tersebut adalah:

a. Untuk mencegah salah memakai atau jangan sampai orang yang melayani keperluan tersebut mengambil untung yan melampaui batas, dalam hal ini pemerintah dapat mengadakan pengawasan.

b. Untuk suatu usaha yan dipandang amat berguna bagi kepentingan umum, dapat diberi subsidi supaya perkembangannya dapat didorong maju.

c. Untuk perusahaan-perusahaan yang mungkin menimbulkan bahaya bagi masyarakat sekitar, pemerintah dalam hal ini akan mengambil tindakan-tinadkan guna pencegahan bahaya-bahaya itu.

Sabda Lord Acton disebut sebagai hukum batu “power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely” akan menjadi tantangan bagi pemerintah dalam melaksanakan kewajibannya. Menurut Muchsan[34] perbuatan penguasa yang sewenang-wenang dapat terjadi apabila terpenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

a. Penguasa yang berbuat secara yuridis memiliki kewenangan untuk berbuat (ada peraturan dasarnya);

b. Dalam mempertimbangkan kepentingan yang terkait dalam dalam keputusan yang dibuat oleh pemerintah, unsur kepentingan umum kurang diperhatikan;

c. Perbuatan penguasa tersebut menimbulkan kerugian kongkrit bagi pihak tertentu.

Dalam teori hukum tata administrasi negara bentuk perwujudan ini ada lima kelompok, yakni: perbuatan melawan hukum oleh penguasa (onrechtmatige overheidsdaad), perbuatan melawan undang-undang (onwetmatige); perbuatan yang tidak tepat (onjuist); perbuatan yang tidak bermanfaat (ondoelmatig); perbuatan yang menyalahgunakan wewenang (detournement de pouviur).[35] Sikap tindak administrasi Negara dalam menjalankan fungsinya melaksanakan pelayanan publik haruslah tetap berdasarkan hukum positif dan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku, juga harus berdasarkan prinsip-prinsip hukum umum. Sikap tindak administrasi Negara tersebut yang dimaksud terutama adalah sikap tindak administrasi Negara dalam mengeluarkan ketetapan (beschikking), Menurut Kuntjoro dalam membuat suatu ketetapan oleh administrasi Negara harus memenuhi syarat-syarat materiil dan Formal, sebagai berikut:

1) Syarat Materiil

2) Alat pemerintahan yang membuat keputusan harus mempunyai kewenangan (berhak).

3) Dalam kehendak alat perlengkapan yang membuat keputusan tidak boleh ada kekurangan yuridis (geen juridische gebreken in de wilsvorning).

4) Keputusan harus diberi bentuk (vorm) yang ditetapkan dalam peraturan yang menjadi dasarnya dan pembuatannya harus juga memperhatikan prosedur membuat keputusan, bilamana prosedur itu disebutkan dengan tegas dalam peraturan itu (rechtmatig).

5) Isi dan tujuan keputusan itu harus sesuai dengan isi dan tujuan yang hendak dicapai.

2. Syarat Formil

a. Syarat-syarat yang ditentukan berhubung denan persiapan dibuatnya keputusan dan berhubung dengan cara dibuatnya keputusan itu harus dipenuhi.

b. Harus diberi bentuk yang telah ditentukan.

c. Syarat-syarat, berhubung dengan pelaksanaan keputusan itu di penuhi.

d. Jangka waktu harus ditentukan, antara timbulnya hal-hal yang menyebabkan dibuatnya dan diumumkannya keputusan itu dan tidak boleh dilupakan.

Sedangkan Amrah Muslimin menguraikankan syarat-syarat formal dan material tersebut sebagai berikut, Syarat Formil: prosedur/cara membuat ketetapan, bentuk ketetapan, pemberitahuan penetapan pada yang bersangkutan. Syarat Materialnya meliputi: Instansi yang membuat penetapan harus berwenang menurut jabatannya, penetapan harus dibuat tanpa adanya kekurangan-kekurangan, penetapan harus menuju sasaran[37], jadi sikap tindak administrasi Negara menurut hukum adalah memenuhi persyaratan-persyaratan di atas, khususnya dalam tindak sikap membuat ketetapan, sehingga dapat dikatakan mal administrasi jika dalam membuat ketetapan ada salah satu unsur yang kurang atau sengaja. Dalam rangka proses mengeluarkan ketetapan inilah dapat timbul kemungkinan termasuk perbuatan melawan hukum oleh administrasi Negara, akan tetapi bukanlah terdapat kemungkinan bahwa sikap tindak yang dilakukan oleh administrasi Negara sudah sesuai dengan hukum, namun hukum yang menjadi landasannya tersebut secara material tidak benar , walaupun dari segi yuridis formal semua persyaratan dan prosedur yang disyaratkan dalam pembentukan peraturan hukum tersebut dipenuhi. Sehubungan dengan itu Sjahran Basah menyebutkan bahwa sikap tindak administrasi Negara yang melanggar hukum yaitu pelaksanaan yang salah, padahal hukumnya benar dan berharga, sedangkan sikap tindak administrasi Negara yang menurut hukum, bukan pelaksanaanya yang salah melainkan hukum itu sendiri yang secara materiil tidak benar dan tidak berharga.

5. Perlindungan Hukum

Hukum diciptakan sebagai suatu sarana (instrument) untuk mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban subjek hukum agar masing-masing subjek hukum dapat menjalankan kewajibannya dengan baik dan mendapatkan haknya secara wajar, namun hukum juga berfungsi sebagai instrumen perlindungan bagi subjek hukum, jika dikaitkan dengan keberadaan suatu Negara, hukum dapat difugsikan sebagai pelindung warga Negara dari tindakan pemerintah yang tiranik dan absolut. Untuk melembagakan perlindungan hukum bagi warga Negara tersebutlah, maka diadakannya lembaga peradilan umum yang melaksanakan fungsinya untuk menegakkan hukum dan keadilan serta sebagai tempat untuk mencari keadilan dan gugatan ganti kerugian bagi oknum pemerintah yang melanggar hukum baik dalam dataran hukum publik maupun hukum privat (perdata), sehingga dapat disimpulkan bahwa kedudukan pemerintah atau administrasi negara dalah hal ini tidak berbeda dengan seseorang atau badan hukum perdata yang sejajar sehingga pemerintah dapat menjadi tergugat maupun penggugat, dalam konteks inilah kedudukan yang sama dihadapan hukum (equality before the law) yang menjadi salah satu unsur Negara hukum terimplementasikan.

Menurut Philipus M. Hadjon menyatakan bahwa perlindungan hukum bagi rakyat dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu: pertama, perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif. Perlindungan hukum preventif, rakyat diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan (inspraak) atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang defenitif, artinya perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, sedangkan sebaliknya perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Perlindungan hukum yang preventif sangat besar artinya bagi tindakan pemerintah yang didasarkan kepada kebebasan bertindak, karena dengan adanya perlindungan hukum yang preventif pemerintah terdorong untuk bersikap hati-hati dalam mengambil keputusan yang didasarkan pada dekresi. Dalam kajian Hukum Administrasi Negara, tujuan pembentukan peradilan administrasi Negara (Peradilan Tata Usaha Negara) adalah:

a. Memberikan perlindungan terhadap hak-hak rakyat yang bersumber dari hak- hak individu.

b. Memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat yang didasarkan pada kepentingan bersama dari individu yang hidup dalam masyarakat tersebut.

Berdasarkan Undang-Undang No.5 Tahun 1986 tentang peradilan Tata Usaha Negara, perlindungan hukum akibat dikeluarkannya ketetapan (beschiking) dapat ditempuh melalui dua jalur, yaitu melalui banding administrasi atau upaya administrasi dan melalaui peradilan. Menurut Sjahran Basah perlindungan hukum yang diberikan merupakan qonditio sine qua non dalam menegakan hukum. Penegakan hukum merupakan qonditio sine qua non pula untuk merealisasikan fungsi hukum itu sendiri, fungsi hukum yang dimaksud adalah:

a) direktif, sebagai pengarah dalam membangun untuk membentuk masyarakat yang hendak dicapai dengan tujuan kehidupan bernegara;

b) integratif, sebagai pembina kesatuan bangsa;

c) stabilitatif, sebagai pemelihara dan menjaga keselarasan, keserasian, dan keseimbangan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat;

d) persfektif, sebagai penyempurna baik terhadap sikap tindak administrasi negara maupun sikap tindak warga apabila terjadi pertentangan dalam kehidupan bernegaradan bermasyarakat;

e) korektif, sebagai pengoreksi atas sikap tindak baik administrasi negara maupun warga apabila terjadi pertentangan hak dan kewajiban untuk mendapatkan keadilan.

B. Dasar Hukum Pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Tinggi Tata Usaha Negara

Dalam kaitannya dengan organisasi, ada baiknya kita tinjau struktur PTUN itu sendiri secara sepintas. berdasarkan ketentuan Pasal 8 UU No 5 Tahun 1986, pengadilan tata usaha negara terdiri atas PTUN sebagai pengadilan tingkat pertama, dan PT TUN ( Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara ). struktur yang demikian mirip dengan struktur peradilan umum berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 ( vide Pasal 6 ). Meskipun dengan struktur yang sama, namun alur perkara dalam lingkungan peradilann umum berbeda dengan lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara. perbedaan itu disebabkan karena dalam jalur Peradilan Tata Usaha Negara terdapat saluran upaya administratif ( vide pasal 48 UU No 5 Tahun 1986 ).

Pengadilan tata usaha negara dibentuk dengan keputusan Presiden ( Pasal 9 UU No 5 Tahun 1986 ), Sedangkan pengadilan tinggi tata usaha negara dibentuk dengan undang-undang.

Pada waktu pertama kali diterapkan UU No 5 Tahun 1986 melalui PP No 7 Tahun 1991 yang menyatakan bahwa PTUN mulai diterapkan tanggal 14 Januari 1991, telah dibentuk 5 pengadilan TUN melalui Kepres No 52 Tahun 1990 dan 3 pengadilan tinggi TUN melalui UU No 10 tahun 1990. Lima pengadilan TUN tersebut adalah : PTUN Jakarta, Medan, Palembang, Surabaya, dan Ujung Pandang. Sejalan dengan ketentuan pasal 10 ayat 2 UU No 14 tahun 1970, kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan tata usaha negara berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi. Dengan demikian keempat lingkungan peradilan kita berpuncak pada Mahkamah Agung ( sistem piramide ).

C. Organisasi Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN)

Dalam kaitannya dengan organisasi, ada baiknya kita tinjau struktur PTUN itu sendiri secara sepintas. berdasarkan ketentuan Pasal 8 UU No 5 Tahun 1986, pengadilan tata usaha negara terdiri atas PTUN sebagai pengadilan tingkat pertama, dan PT TUN ( Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara ). struktur yang demikian mirip dengan struktur Peradilan Umum berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 (vide Pasal 6). Meskipun dengan struktur yang sama, namun alur perkara dalam lingkungan peradilann umum berbeda dengan lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara. perbedaan itu disebabkan karena dalam jalur Peradilan Tata Usaha Negara terdapat saluran upaya administratif ( vide pasal 48 UU No 5 Tahun 1986 ).

Pengadilan tata usaha negara dibentuk dengan keputusan Presiden ( Pasal 9 UU No 5 Tahun 1986 ), Sedangkan pengadilan tinggi tata usaha negara dibentuk dengan undang-undang.

Pada waktu pertama kali diterapkan UU No 5 Tahun 1986 melalui PP No 7 Tahun 1991 yang menyatakan bahwa PTUN mulai diterapkan tanggal 14 Januari 1991, telah dibentuk 5 pengadilan TUN melalui Kepres No 52 Tahun 1990 dan 3 pengadilan tinggi TUN melalui UU No 10 tahun 1990. Lima pengadilan TUN tersebut adalah : PTUN Jakarta, Medan, Palembang, Surabaya, dan Ujung Pandang. Sejalan dengan ketentuan pasal 10 ayat 2 UU No 14 tahun 1970, kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan tata usaha negara berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi. Dengan demikian keempat lingkungan peradilan kita berpuncak pada Mahkamah Agung ( sistem piramide ).

D. Tujuan Peradilan Tata Usaha Negara

Negara RI sebagai negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 bertujuan mewujudkan tata kehidupan negara dan bangsa yang sejahtera, aman, stentram, serta tertib, yang menjamin persamaan kedudukan warga masyarakat dalam hukum, dan yang menjamin terpeliharanya hubungan yang serasi, seimbang, serta selaras antara aparatur di bidang tata usaha negara dengan para warga masyarakat

Adanya kemungkinan timbulnya benturan kepentingan, perselisihan atau sengketa antara badan atau pejabat Tata Usaha Negara dengan warga masyarakat yang dapat merugikan atau menghambat jalannya pembangunan nasional.

Dalam kajian Hukum Administrasi Negara, tujuan pembentukan peradilan administrasi Negara (Peradilan Tata Usaha Negara) adalah:[13]

1. Memberikan perlindungan terhadap hak-hak rakyat yang bersumber dari hak- hak individu.

2. Memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat yang didasarkan pada kepentingan bersama dari individu yang hidup dalam masyarakat tersebut.

Berdasarkan Undang-Undang No.5 Tahun 1986 tentang peradilan tata usaha negara, perlindungan hukum akibat dikeluarkannya ketetapan (beschiking) dapat ditempuh melalui dua jalur, yaitu melalui banding administrasi atau upaya administrasi dan melalaui peradilan. Menurut Sjahran Basah perlindungan hukum yang diberikan merupakan qonditio sine qua non dalam menegakan hukum. Penegakan hukum merupakan qonditio sine qua non pula untuk merealisasikan fungsi hukum itu sendiri, fungsi hukum yang dimaksud adalah:

a. direktif, sebagai pengarah dalam membangun untuk membentuk masyarakat yang hendak dicapai dengan tujuan kehidupan bernegara;

b. integratif, sebagai pembina kesatuan bangsa;

c. stabilitatif, sebagai pemelihara dan menjaga keselarasan, keserasian, dan keseimbangan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat;

d. persfektif, sebagai penyempurna baik terhadap sikap tindak administrasi negara maupun sikap tindak warga apabila terjadi pertentangan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat;

e. korektif, sebagai pengoreksi atas sikap tindak baik administrasi negara maupun warga apabila terjadi pertentangan hak dan kewajiban untuk mendapatkan keadilan.

Salah satu tujuan pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara adalah untuk melaksanakan ketentuan pasal 10 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehakiman, yng menyebutkan bahwa kekuasaan Kehakiman dijalankan oleh empat lingkungan peradilan, yang salah satunya adalah Peradilan Tata Usaha Negara.

Nyatanya, setelah hampir 20 tahun Peradilan Tata Usaha Negara berjalan, tujuan ideal tersebut belum tercapai. Kendalanya antara lain timbul dari ketentuan perundang-undangan itu sediri, yang beberapa pasalnya dapat ditafsirkan dari berbagai segi. Selain itu sumber daya manusia (khususnya Hakim) masih menjadi masalah, sehingga rekrutmen dampembinaannya masih perlu disemprnakan dan ditingkatkan agar profesionalisme dan integritas mereka tetap terjaga.

BAB III

HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA

A. Ruang Lingkup Hukum Acara di Lingkungan PTUN

Dalam undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 menyebutkan bahwa Hukum Acara yang digunakan dalam Undang-Undang ini adalah Hukum Acara yang digunakan dalam proses di tingkat I (PTUN) dan Hukum Acara pemeriksaan di inhkat banding.

Hukum Acara yang digunakan pada PTUN mempunyai persamaan dengan acara yang digunakan pada Peradilan Umum untuk perkara perdata dengan beberapa perbedaan, antara lain adalah :

a. Pada Peradilan Tata Usaha Negara Hakim berperan lebih aktif dalam proses persidangan, guna memperoleh kebenaran material dan untuk itu Undang-Undang ini mengarah pada ajaran pembuktian bebas.

b. Suatu gugatan Tata Usaha Negara pada dasarnya tidak menunda pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan.

c. Kedudukan Penggugat dan tergugat pada Peradilan Tata Usaha Negara akan tetap sama pada tingkat kasasi dan tidak dimungkinkan adanya gugat balik, sehingga tidak ada Penggugat dan Tergugat rekonvensi.

d. Pada Peradilan Tata Usaha Negara diberi batas waktu 90 (sembilan puluh) hari.

Istilah hukum acara untuk Peradilan Tata Usaha Negara hendaknya Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara dan bukan Hukum Acara Tata Usaha Negara. Penyebutan hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara untuk menunjukkan sifat contentieux, karena dalam Hukum Acara Tata Usaha Negara ada aspek contentieux dan ada aspek non contentieux berupa prosedur pemerintahan, misalnya prosedur perizinan.

Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara dibedakan atas :

1. Hukum Acara Materiil yang meliputi :

a. Kompetensi absolut dan relatif

b. Hak gugat

c. Tenggang waktu menggugat

d. Alasan menggugat

e. Alat bukti

2. Hukum Acara Formal ( Hukum Acara dalam arti sempit ) berupa langkah-langkah atau tahapan yang terbagi atas :

a. Acara biasa (pasal 68 dst), dengan ciri : diawali dengan pemeriksaan persiapan dan majelis hakim 3 orang.

b. Acara cepat/versnelde behandeling (pasal 98,99), dengan ciri : tidak ada pemeriksaan persiapan, hakim tunggal, dan waktu dipercepat, kepentinagn mendesak, menyelesaikan pokok sengketa, dan bentuk akhir putusan (vonis).

c. Acara singkat/kortgeding, dengan ciri : perlawanan (pasal 62 ayat 4), penundaan pelaksanaan Tata Usaha Negara (pasal 67 ayat 2,3,4) tidak untuk menyesaikan pokok sengketa, dan bentuk akhir penetapan.

Dalam acara biasa, tahapan penanganan sengketa adalah :

1. Prosedur “dismisal“ (pasal 62) : pemeriksaan administratif untuk menetapkan apakah suatu gugatan dapat diterima atau tidak dapat diterima.

2. Pemeriksaan persiapan (pasal 63) : tahap ini dimaksudkan untuk melengkapi gugatan yang kurang jelas.

3. Pemeriksaan di sidang pengadilan (pasal 68 dst.)

Acara Formal

1. Acara Biasa

Secara garis besar proses tertib beracara menurut acara biasa dapat dibagi atas tindakan sebelum pemeriksaan di sidang pengadilan dan pada pemeriksaan di muka sidang pengadilan dengan berbagai ragam pentahapan yang harus dilalui.

a. Tindakan Sebelum Pemeriksaan di Sidang Pengadilan

Tindakan ini dilakukan sebelum pemeriksaan di sidang pengadilan yang dinyatakn terbuka untuk umum. Untuk itu dilakukan beberapa pentahapan dalam proses yang dilakukan oleh petugas pengadilan baik ketua, maupun majelis hakim dan panitera.

b. Pemeriksaan di Muka Sidang Pengadilan

2. Acara Luar Biasa

Pemeriksaan perkara di pengadilan tata usaha negara (tingkat pertama) dapat dilakukan dengan acara biasa dan bukan acara biasa. Apabila kedua acara itu dibandingkan ternyata masing-masing memiliki proses tersendiri yang berbeda terutama dilihat dari faktor waktu. Oleh karena itu kita dapat menyebut acara luar biasa untuk bukan acara biasa.

a. Banding

Arti banding yaitu merupakan pemeriksaan dalam instansi (tingkat) kedua oleh sebuah pengadilan atasan yang mengulangi seluruh pemeriksaan, baik yang mengenai fakta-faktanya, maupun penerapan hukum atau undang-undang. Permohonan pemeriksaan banding itu dapat dicabut oleh pemohon selama hal itu belum diputus. Jika permohonan itu dicabut, maka ia tidak boleh mengajukan lagi walaupun jangka waktu untuk mengajukan banding belum lampau.

Menurut Pasal 122 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, terhadap Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dapat dimintakan pemeriksaan banding oleh Penggugat atau Tergugat kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.

Pengajuan permohonan pemeriksaan banding diajukan secara tertulis oleh Pemohon atau Kuasanya yang khusus diberi kuasa untuk itu, kepeda Pengadilan Tata usaha Negara yang menjatuhkan putusan tersebut dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah putusan pengadilan itu diberitahukan kepada yang bersangkutan secara patut. Permohonan pemeriksaan banding disertai pembayaran biaya perkara terlebih dahulu yang besarnya ditaksir oleh panitera[14]. Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang bukan Putusan akhir atau putusan sela dapat dimohonkan pemeriksaan banding bersama-sama Putusan akhir.

Permohonan pemeriksaan banding dicatat oleh Panitera dalm daftar pekara dan memberitahukannya kepada pihak terbanding[15]. Selanjutnya selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah permohonana pemeriksaan banding dicatat, Panitera memberitahukannya kepada kedua belah pihak bahwa mereka dapat melihat berkas perkara di Kantor Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dalam tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari setelah mereka menerima pemberitahuaan tersebut. Salinan Putusan, berita acara, dan surat lain yang bersangkutan dengangan perkara harus dikirim kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang di dalam daerah hukumnya berada Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersangktan, selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari setelah pernyataan permohonan pemeriksaan banding.

Setelah pemeriksaaan di tingkat banding selesai dan telah diputus oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang bersangkutan, maka Panitera Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang bersangkutan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari mengirimkan salinan putusan Pengadilan Tinggi tersebut beserta surat-surat pemeriksaan dan surat-surat lain kepada Pengadilan Tata Usaha Negara yang memutus dalam pemeriksaan tingkat pertama dan selanjutna meneruskan kepada pihak-pihak yang berkepentingan[16].

b. Kasasi

Terhadap putusan tingkat terakhir pengadilan dapat dimohonkan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung, tidak terkecuali untuk Pengadilan Tata Usaha Negara. Pemeriksaan kasasi untuk perkara yang diputus oleh Pengadilan di Lingkungan Pengadilan Agama atau yang diputus oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dilakukan menurut ketentuan Undang-Undang.

Permohonan Kasasi disampaikan secara tertulis atau lisan melalui Panitera Pengadilan Tata Usaha Negara yang telah memutus sengketanya pada tingkat pertama, dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sesudah Putusan atau penetapan Pengadilan Tata Usaha Negara yang dimaksudkan diberitahukan kepada Pemohon. Apabila tenggang waktu 14 (empat belas) hari tersebut telah lampau, tanpa ada permohonan kasasi yang diajuka oleh pihak-pihak yang bersengketa, maka pihak yang bersengketa dianggap telah menerima putusan tersebut.

Pemeriksaan di tingkat kasasi dilakukan berdasarkan surat-surat, hanya jika dipandang perlu Mahkamah Agung dapat mendengar sendiri para pihak atau para saksi atau memerintahkan Pengadilan Tata Usaha Negara atau Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang memutus sengketa tersebut untuk mendengar kembali para pihak atau para saksi.

Dalam hal Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi dengan alasan Pengadilan yang telah memutus perkara tersebut tidak berwenang atau telah melampaui kewenangannya, maka Mahkamah Agung menyerahkan sengketa tersebut kepada Pengadilan lain yang berwenang memeriksa dan memutus perkara tersebut. Sebaliknya kalau Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi dengan alasan Pengadilan yang memeriksa dan memutus perkara tersebut telah salah menerapkan atau telah melanggar hukum yang berlaku atau lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan Perundang-Undangan yang mengancam kelalaian itu ddengan batalnya putusan yang bersangkutan, maka Mahkamah agung akan memeriksa dan memutus sendiri sengketa yang dimohon kasasi tersebut.

Salinan Putusan Mahkamah Agung terhadap sengketa yang dimohon kasasi tersebut dikirimkan kepada Ketua Pengadilan yang memeriksa dan memutus perkara tersebut pada tingkat pertama. Salinan Putusan Mahkamah Agung tersebut oleh Pengadilan tingkat pertama tadi diberitahukan kepada para pihak yang bersengketa selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah Putusan dan berkas sengketa diterima kembali oleh Pengadilan tingkat pertama tersebut. Yang dimaksud Pengadilan tingkat pertama dalam hal ini pada umumnya adalah Pengadilan tata Usaha Negara, terkecuali untuk sengketa Tata Usaha Negara yang menurut peraturan Perundang-Undangan yang berlaku untuk itu, harus diselesaikan terlebih dahulu melalui upaya Administratif, maka Pengadilan tingkat pertamanya adalah Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.

c. Peninjauan Kembali

Peninjauan kembali putusan merupakan alat hukum yang istimewa dan pada galibnya baru dilakukan setelah alat-alat hukum lainnya telah dipergunakan tanpa hasil. Syarat-syaratnya ditetapkan dalam hukum acara pada umumnya, peninjauan kembali putusan hanya dapat dilakukan apabila terdapat novum, yaitu fakta-fakta atau keadaan-keadaan baru, yang pada waktu dilakukan Peradilan yang dahulu, tidak tampak atau memperoleh perhatian.

Pemeriksaan peninjauan kembali (PK) ini diatur dalam pasal 132 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 yang menyebutkan bahwa terhadap putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dapat diajukan permohonan peninjauan kembali pada Mahkamah Agung.

Permohonan peninjauan kembali harus diajukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa atau ahli warisnya atau sseseorang wakilnya yang dikuasakan khusus untuk itu. Apabila selama proses pemeriksaan permohonan peninjauan kembali pemohon meninggal dunia, maka permohonan tersebut dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya.

Dalam proses pemeriksaan permohonan peninjauan kembali Mahkamah agung berwenang memerintahkan Pengadilan yang telah memutus perkara tersebut pada tingkat pertama atau Pengadilan tingkat banding untuk mengadakan pemeriksaan tambahan atau meminta segala keterangan serta pertimbangan dari Pengadilan yang dimaksud. Pengadilan yang diminta mengadakan pemeriksaan tambahan tersebut, segera mengirimkan berita acara pemeriksaan tambahan serta pertimbangannya kepada Mahkamah Agung.

Setelah memeriksa permohonan peninjauan kembali tersebut, Mahkamah Agung dapat memutuskan:

1. Mengabulkan permohonan peninjauan kembali dan membatalkan putusan yang dimohonkan peninjauan kembali tersebut, selanjutnya Mahkamah Agung memeriksa dan memutus sendiri sengketanya.

2. Menolak permohonan peninjauan kembali dalam hal Mahkamah Agung berpendapat permohonan tersebut tidak beralasan.

Salinan Putusan Mahkamah Agung atas permohonan Peninjauan Kembali tersebut dikirimkan kepada Pengadilan yang telah memutus sengketa tersebut pada tingkat pertama dan selanjutnya Panitera Pengadilan yang bersangkutan menyampaikan salinan putusan tersebut kepada pemohon serta memberitahukan putusan itu kepada pihak lawan selambat-lambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari.

Putusan Mahkamah agung tentang permohonan pennjauan kembali ini adalah merupakan putusan tingkat pertama dan tingkat terakhir, sehingga tidak ada upaya hukum lain sesudah itu.

B. Karakteristik Hukum Acara di Peradilan Tata Usaha Negara

Secara sederhana Hukum Acara diartikan sebagai Hukum Formil yang bertujuan untuk mempertahankan Hukum Materil. Hal-hal yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya di atas, merupakan ketentuan-ketentuan tentang Hukum Materil di Peratun. Sementara itu mengenai Hukum Formilnya juga diatur dalam UU No. 5 tahun 1986 Jo. UU No. 9 Tahun 2004, mulai dari Pasal 53 s/d Pasal 132. Penggabungan antara Hukum Materil dan Hukum Formil ini merupakan karakteristik tersendiri yang membedakan Peradilan TUN dengan Peradilan lainnya. Untuk mengantarkan pada pembahasan tentang Hukum Acara di Peratun ini, terlebih dahulu akan diuraikan hal-hal yang merupakan ciri atau karakteristik Hukum Acara Peratun sebagai pembeda dengan Peradilan lainnya, khususnya Peradilan Umum (Perdata), sebagai berikut :

§ Adanya Tenggang Waktu mengajukan gugatan (Pasal 55).

§ Terbatasnya tuntutan yang dapat diajukan dalam petitum gugatan Penggugat (Pasal 53).

§ Adanya Proses Dismissal (Rapat Permusyawaratan) oleh Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) (Pasal 62).

§ Dilakukannya Pemeriksaan Persiapan sebelum diperiksa di persidangan yang terbuka untuk umum (Pasal 63).

§ Peranan Hakim Tata Usaha Negara yang aktif (dominus litis) untuk mencari kebenaran materil (Pasal 63, 80, 85,95 dan 103).

§ Kedudukan yang tidak seimbang antara Penggugat dengan Tergugat, oleh karenanya “konpensasi” perlu diberikan karena kedudukan Penggugat diasumsikan dalam posisi yang lebih lemah dibandingkn dengan Tergugat selaku pemegang kekuasaan publik.

§ Sistem pembuktian yang mengarah pada pembuktian bebas yang terbatas (Pasal 107).

§ Gugatan di pengadilan tidak mutlak menunda pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat (Pasal 67).

§ Putusan Hakim yang tidak boleh bersifat ultra petita yaitu melebihi apa yang dituntut dalam gugatan Penggugat, akan tetapi dimungkinkan adanya reformatio in peius (membawa Penggugat pada keadaan yang lebih buruk) sepanjang diatur dalam perundang-undangan.

§ Putusan hakim Tata Usaha Negara yang bersifat erga omnes, artinya putusan tersebut tidak hanya berlaku bagi para pihak yang bersengketa, akan tetapi berlaku juga bagi pihak-pihak lainnya yang terkait.

§ Berlakunya azas audi et alteram partem, yaitu para pihak yang terlibat dalam sengketa harus didengar penjelasannya sebelum hakim menjatuhkan putusan.

Sebelum hari persidangan ditentukan dan sengketa diperiksa di persidangan untuk diputuskan, ternyata terdapat kewenangan pengadilan untuk melakukan semacam ”pemeriksaan pendahuluan” itu dikemukakan, karena Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tidak menyebutnya.

Pemeriksaan yang dimaksud dapat berupa rapat permusyawaratan dan pemeriksaan persiapan.

1. Rapat Permusyawaratan ( prosedur dismissal )

Gugatan yang diajukan sebelum diperiksa dipersidangkan dapat dinyatakan tidak diterima atau tidak mempunyai dasar. Hal itu disebabkan:

a. Pokok gugatan (fakta yang dijadikan dasar gugatan) itu nyata-nyata tidak termask wewenang pengadilan;

b. Syarat-syarat gugatan ( pasal 56 tidak dipenuhi oleh penggugat, sekalipun telah diberitahukan dan diperinagtkan;

c. Gugatan tersebut tidak didasarkan kepada alasan-alasan yang layak;

d. Apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah terpenuhi oleh keputusan adnministrasi negara yang digugat;

e. Gugatan diajukan sebelum waktunya atau telah kadaluarsa.

2. Pemeriksaan Persiapan

Sebelum pemeriksaan pokok sengketa dimulai, hakim wajib mengadakan persiapan untuk melengkapi gugatan yang kurang jelas (pasal 63). Dalam hal ini hakim bertindak :

a. Memberi nasihat kepada penggugat untuk memperbaiki gugatan dan melengkapi dengan data yang diperlukan dalam jangka waktu 30 hari;

b. Dapat diminta penjelasan kepada badan atau pejabat tata usaha negara yang bersangkutan.

Pemeriksaan persiapan ini merupakan pengkhususan dalam proses pemeriksaan sengketa administrasi dan di dalam kesempatan ini hakim dapat meminta penjelasan kepada Badan atau Pejabat Administrasi Negara yang bersangkutan, demi lengkapnya data yang diperlukan untuk gugatan.

Penyederhanaan itu dimungkinkan karena pada hakikatnya kedua hal di atas itu termasuk dalam ”pemeriksaan pemdahuluan” dan menunjuk kepada karakteristik hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, yang dalam hal ini demi kesempurnaan gugatan yang akal diperiksa dan diputuskan di persidangan.

3. Penetapan Hari Sidang (Pasal 59 ayat 3 Pasal 64)

Penetapan hari sidang selalu berhubungan dengan panggilan, waktu dan jarak antara tempat para pihak yang bersengketa dengan tempat persidangan. Hari persidangan ditetapkan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari seelah gugatan dicatat dalam daftar perkara.

4. Panggilan Para Pihak Yang Berperkara (Pasal 59 ayat 3, 4 Pasal 64 ayat 2, Pasal 65 dan Pasal 66)

Pemanggilan kepada para pihak yang berperkara dilakukan setelah selesai pentahapan tindakan sebelum pemeriksaan di sidang pengadilan. Hal ini berarti setelah gugatan dianggap cukup lengkap dan sempurna serta telah ditentukan majelis hakim, yang memeriksa dan memutus sengketa Tata Usaha Negara itu.

Jangka waktu pemanggilan dan hari persidangan tidak boleh kurang dari 6 (enam) hari, kecuali bila sengketa itu diperiksa berdasarkan acara cepat.

Setelah ”pemeriksaan pendahuluan” selesai, maka ditetapkanlah hari, jam, dan tempat persidangan. Kemudian kedua belah pihak atau para kuasanya dipanggil untuk mulai bersidang yang harus diperlakukan sama dan didengar. Untuk keperluan pemeriksaan, hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakannya terbuka untuk umum (Pasal 70 ayat 1). Sifat terbuka sidang untuk umum itu merupakan syarat mutllak karena kalau tudak putusan hakim diancam batal menurut hukum, kecuali bila ditentukan lain (Pasal 17 ayat 1 dan 2 undang-undang nomor 14 tahun 1970). Sangatlah penting tertib acara dalam pemeriksaan berikut berita acaranya. Oleh karena itu dalam sengketa tata usaha negara, tertib acara pemeriksaan dan berita acaranya di pengadilan tata usaha negara (setelah berfungsi) pun merupakan salah satu hal yang penting dalam proses beracara.

BAB IV

KEKUASAAN PENGADILAN DI LINGKUNGAN PERADILAN

TATA USAHA NEGARA

A. Kekuasaan dan Kewenangan Pengadilan

Menurut pasal 47 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jo. Undang-Undang No. 9 Tahun 2004, Pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara.

Yang dimaksud dengan sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara, antara orang atau Badan Hukum Perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa Kepegawaian bedasarkan peraturan Perundang-Undangan yang berlaku. Sedangkan yang dimaksud dengan Keputusan Tata Usaha Negara menurut pasal 1 ayat (3) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 Jo. Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan Hukum Tata Negara yang berdasarkan peraturan Perundang-Undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual dan final yang menimbulkan akibat Hukum bagi seseorang[17].

Dalam pasal 2 Undang-undang Nomor 9 Thun 2004, menyebutkan bahwa:

“Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut Undang-undang ini:

a. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata;

b. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum;

c. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan;

d. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang hukum Pidana dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana atau peraturan Perundang-undangan lain yang bersifat Hukum Pidana;

e. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan Badan Peradilan berdasarkan peraturan Perundang-undangan yang berlaku;

f. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia;

g. Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum.”

Dari hal ini jelas bagi kita bahwa kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Jo. Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 lebih sempit bila dibandigkan dengan kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara menurut Thorbecke dan Buys.

Menurut Thorbecke bilamana pokok sengketa (fundamentum petendi) terletak di lapangan Hukum publik suda tentulahHakim administrasi yang berwenang memutuskannya. Sedangkan menurut Buys maka ukuran yang harus dipakai dalam menentukan berwenang atau tidaknya Hakim Administrasi Negara ialah pokok dalam perselisihan (objectum litis). Blamana yang bersangkutan dirugikan dalam hak privatnya dan oleh karena itu minta ganti kerugian, jadi, objectum litis adalah suatu hak privat, maka perkara yang bersangkutan harus diselesaikan oleh Hakim biasa[18]. Kompetensi sebagaimana dikemukakan Buys ini lebih sempit bila dibandingkan dengan Kompetensi Thorbecke. Menurut Buys walaupun dalam pokok perselisihannya (objectum litis) terletak di lapangan Hukum publik, jika yang dirugikan adalah hak privat sehigga perlu meminta ganti rugi, maka yang berwenang mengadili adalah Hakim biasa atau Peradilan Umum.

Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 Jo. Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 jauh lebih sempit lagi, Karena tidak semua perkara yang pokok sengketanya terletak di lapangan Hukum Publik (Hukum Tata Usaha Negara) dapat diadili di Peradilan Tata Usaha Negara. Menurut ketentuan pasal 1 ayat (3) Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara yang dapat digugat di Peradilan Tata Usaha Negara haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. Bersifat tertulis, hal ini diperlukan untuk memudahkan pembuktian. Pengertian tertulis di sini bukanlah dalam arti formalnya, melainkan cukup tertulis, asal saja:

a. Jelas Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang megelarkannya,

b. Jelas maksud dan isi tulisan tersebut yang menimbulkan hak dan kewajiban,

c. Jelas kepada siapa tulisan itu ditujukan.

2. Bersifat konkrit, artinya obyek yang diputus dalam Keputusan Tata Usaha Negara berwujud tertentu atau dapat ditentukan.

3. Bersifat individual, artinya Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak ditujukan kepada umum, tetapi ditujukan kepada orang-orang atau Badan Hukum Perdata tertentu. Jadi tidak berupa suatu peraturan yang berlaku untuk umum.

4. Bersifat final, artinya sudah defenitif dan karenanya dapat menimbulkan akibat hukum, atau ketetapan yang tidak membutuhkan lagi persetujuan dari instansi atasannya.

Mengenai Syarat tertulis di atas, ada pengeculiannya sebagaimana diatur dalam pasal 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 Jo. Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004, yaitu:

1. Apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan Keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara.

2. Jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan Keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam Perundang-undangan telah lewat, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dianggap telah menolak mengeluarkan Keputusan yang dimaksud.

3. Dalam hal perauturan Perundang-Undangan tidak menentukan jangka waktu sebagaimana diatur dalam ayat (2), maka setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan Keputusan penolakan.

Disamping itu, menurut ketentuan Pasal 49 Undang-undang Nomor 5 tahun 1986 Jo. Undang-undang nomor 9 tahun 2004, Pengadilan tidak berwenang mengadili suatu sengketa Tata Usaha Negara dalam hal Keputusan Tata Usaha Negara itu dikeluarkan:

1. Dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, atau dalam keadaan luar biasa yang membahayakan berdasrkan peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

2. Dalam keadaan mendesak ntuk kepentingan umum berdasarkan peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

B. Ruang Lingkup, Tugas dan Wewenang Peradilan Tata Usaha Negara

Peradilan Tata Usaha Negara adalah peradilan dalam lingkup hukum publik, yang mempunyai tugas dan wewenang : “memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara, yaitu suatu sengketa yang timbul dalam bidang hukum TUN antara orang atau badan hukum perdata (anggota masyarakat) dengan Badan atau Pejabat TUN (pemerintah) baik dipusat maupun didaerah sebagai akibat dikeluarkannya suatu Keputusan TUN (beschikking), termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku “ (vide Pasal 50 Jo. Pasal 1 angka 4 UU No. 5 tahun 1986 Jo. UU No. 9 Tahun 2004).

Berdasarkan uraian tersebut, secara sederhana dapat dipahami bahwa yang menjadi subjek di Peratun adalah Seseorang atau Badan Hukum Perdata sebagai Penggugat, dan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara sebagai Tergugat. Sementara itu yang menjadi objek di Peratun adalah Surat Keputusan Tata Usaha Negara (beschikking). Subjek dan Objek gugatan di Peratun ini lebih lanjut akan dijelaskan dalam pembahasan mengenai unsur-unsur dari suatu Surat Keputusan TUN berikut ini.

Pengertian dari Surat Keputusan TUN disebutkan dalam Pasal 1 angka 3, yaitu :

Keputusan Tata Usaha Negara adalah Suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN yang berisi tindakan hukum TUN berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.”

Selanjutnya dari pengertian ataupun definisi Keputusan TUN tersebut di atas, dapat diambil unsur-unsur dari suatu Keputusan TUN, yang terdiri dari:

1. Bentuk Penetapan tersebut harus Tertulis

Penetapan Tertulis itu harus dalam bentuk tertulis, dengan demikian suatu tindakan hukum yang pada dasarnya juga merupakan Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan secara lisan tidak masuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara ini. Namun demikian bentuk tertulis tidak selalu disyaratkan dalam bentuk formal suatu Surat Keputusan Badan/Pejabat Tata Usaha Negara, karena seperti yang disebutkan dalam penjelasan pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 5 tahun 1986, bahwa syarat harus dalam bentuk tertulis itu bukan mengenai syarat-syarat bentuk formalnya akan tetapi asal terlihat bentuknya tertulis, oleh karena sebuah memo atau nota pun dapat dikategorikan suatu Penetapan Tertulis yang dapat digugat (menjadi objek gugatan) apabila sudah jelas :

a. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkannya.

b. Maksud serta mengenai hal apa isi putusan itu.

c. Kepada siapa tulisan itu ditujukan dan apa yang ditetapkan didalamnya jelas bersifat konkrit, individual dan final.

d. Serta menimbulkan suatu akibat hukum bagi seseorang atau Badan Hukum Perdata.

2. Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.

Sebagai suatu Keputusan Tata Usaha Negara, Penetapan tertulis itu juga merupakan salah satu instrumen yuridis pemerintahan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dalam rangka pelaksanaan suatu bidang urusan pemerintahan. Selanjutnya mengenai apa dan siapa yang dimaksud dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara sebagai subjek Tergugat, disebutkan dalam pasal 1 angka 2 :
“Badan atau Pejabat Tata Usaha negara adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara di sini ukurannya ditentukan oleh fungsi yang dilaksanakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada saat tindakan hukum Tata Usaha Negara itu dilakukan. Sehingga apabila yang diperbuat itu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku merupakan suatu pelaksanaan dari urusan pemerintahan, maka apa saja dan siapa saja yang melaksanakan fungsi demikian itu, saat itu juga dapat dianggap sebagai suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Sedang yang dimaksud dengan urusan pemerintahan adalah segala macam urusan mengenai masyarakat bangsa dan negara yang bukan merupakan tugas legislatif ataupun yudikatif. Dengan demikian apa dan siapa saja tersebut tidak terbatas pada instansi-instansi resmi yang berada dalam lingkungan pemerintah saja, akan tetapi dimungkinkan juga instansi yang berada dalam lingkungan kekuasaan legislatif maupun yudikatif pun, bahkan dimungkinkan pihak swasta, dapat dikategorikan sebagai Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dalam konteks sebagai subjek di Peratun.

3. Berisi Tindakan Hukum Tata Usaha Negara.

Sebagaimana telah dijelaskan diatas, bahwa suatu Penetapan Tertulis adalah salah satu bentuk dari keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, dan keputusan yang demikian selalu merupakan suatu tindakan hukum Tata Usaha Negara, dan suatu tindakan hukum Tata Usaha Negara itu adalah suatu keputusan yang menciptakan, atau menentukan mengikatnya atau menghapuskannya suatu hubungan hukum Tata Usaha Negara yang telah ada. Dengan kata lain untuk dapat dianggap suatu Penetapan Tertulis, maka tindakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara itu harus merupakan suatu tindakan hukum, artinya dimaksudkan untuk menimbulkan suatu akibat hukum Tata Usaha Negara.

a. Berdasarkan Peraturan Per UU an yang Berlaku.

Kata “berdasarkan” dalam rumusan tersebut dimaksudkan bahwa setiap pelaksanaan urusan pemerintahan yang dilakukan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara harus ada dasarnya dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, karena hanya peraturan perundang-undangan yang berlaku sajalah yang memberikan dasar keabsahan (dasar legalitas) urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara (pemerintah). Dari kata “berdasarkan” itu juga dimaksudkan bahwa wewenang Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara untuk melaksanakan suatu bidang urusan pemerintahan itu hanya berasal atau bersumber ataupun diberikan oleh suatu ketentuan dalam suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku.

b. Bersifat Konkret, Individual dan Final.

Keputusan Tata Usaha Negara itu harus bersifat konkret, artinya objek yang diputuskan dalam Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak abstrak, tetapi berwujud, tertentu atau dapat ditentukan, seperti Pemberhentian si X sebagai Pegawai, IMB yang diberikan kepada si Y dan sebagainya. Bersifat Individual artinya Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak ditujukan untuk umum, tetapi tertentu dan jelas kepada siapa Keputusan Tata Usaha Negara itu diberikan, baik alamat maupun hal yang dituju. Jadi sifat indivedual itu secara langsung mengenai hal atau keadaan tertentu yang nyata dan ada. Bersifat Final artinya akibat hukum yang ditimbulkan serta dimaksudkan dengan mengeluarkan Penetapan Tertulis itu harus sudah menimbulkan akibat hukum yang definitif. Dengan mengeluarkan suatu akibat hukum yang definitif tersebut ditentukan posisi hukum dari satu subjek atau objek hukum, hanya pada saat itulah dikatakan bahwa suatu akibat hukum itu telah ditimbulkan oleh Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan secara final.

c. Menimbulkan Akibat Hukum Bagi Seseorang / Badan Hukum Perdata.

Menimbulkan Akibat Hukum disini artinya menimbulkan suatu perubahan dalam suasana hukum yang telah ada. Karena Penetapan Tertulis itu merupakan suatu tindakan hukum, maka sebagai tindakan hukum ia selalu dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Apabila tidak dapat menimbulkan akibat hukum ia bukan suatu tindakan hukum dan karenanya juga bukan suatu Penetapan Tertulis. Sebagai suatu tindakan hukum, Penetapan Tertulis harus mampu menimbulkan suatu perubahan dalam hubungan-hubungan hukum yang telah ada, seperti melahirkan hubungan hukum baru, menghapuskan hubungan hukum yang telah ada, menetapkan suatu status dan sebagainya.

Di samping pengertian tentang Keputusan Tata Usaha Negara dalam pasal 1 angka 3 tersebut diatas, dalam Undang-Undang Peratun diatur juga ketentuan tentang pengertian yang lain dari Keputusan Tata Usaha Negara, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 3, sebagai berikut :

1) Apabila badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara.

2) Jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon, sedang jangka waktu sebagaimana yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud.

3) Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2); maka setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan.”

Ketentuan dalam Pasal 3 ini merupakan perluasan dari pengertian Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 3 diatas, yang disebut dengan Keputusan Tata Usaha Negara yang Fiktif atau Negatif. Uraian dari ayat (1) Pasal 3 tersebut merupakan prinsip dasar bahwa setiap Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara itu wajib melayani setiap permohonan warga masyarakat yang diterimanya, yang menurut aturan dasarnya menjadi tugas dan kewajibannya dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut. Oleh karenanya apabila badan atau Pejabat Tata Usaha Negara melalaikan kewajibannya, maka walaupun ia tidak mengeluarkan keputusan terhadap suatu permohonan yang diterimanya itu, ia dianggap telah bertindak menolak permohonan tersebut. Ada kalanya dalam aturan dasarnya ditentukan jangka waktu penyelesaian dari suatu permohonan, maka sesuai dengan ketentuan ayat (2) Pasal 3 tersebut, setelah lewat waktu yang ditentukan oleh aturan dasarnya, Badan atau Pejabat TUN belum juga menanggapinya (mengeluarkan keputusan) maka ia dianggap telah menolak permohonan yang diterimanya.

Sementara itu dalam ayat (3) nya menentukan bahwa apabila aturan dasarnya tidak menyebutkan adanya batas waktu untuk memproses penyelesaian suatu permohonan yang menjadi kewajibannya, maka setelah lewat waktu 4 bulan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut belum juga mengeluarkan keputusan, maka ia juga dianggap telah menolak permohonan yang diterimanya. Secara keseluruhan, ketentuan dalam Pasal 3 ini merupakan perluasandari pengertian Keputusan Tata Usaha Negara (memperluas kompetensi pengadilan). Selanjutnya disamping ketentuan yang memperluas pengertian Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 diatas, juga Undang-Undang Peratun mengatur tentang ketentuan yang mempersempit pengertian dari Keputusan Tata Usaha Negara (mempersempit kompetensi pengadilan), artinya secara definisi masuk dalam pengertian suatu Keputusan Tata Usaha Negara seperti dimaksud dalam Pasal 1 angka 3, akan tetapi secara substansial tidaklah dapat dijadikan objek gugatan di Peratun. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 49, yang menyebutkan :

Pengadilan tidak berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara tertentu dalam hal keputusan yang disengketakan itu dikeluarkan :

a. Dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, atau keadaan luar biasa yang membahayakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

b. Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

Keadaan-keadaan tersebut diatas dapat terjadi pada prinsipnya tergantung pada hasil penafsiran dari apa yang ditentukan dalam masing-masing peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk masing-masing keadaan, seperti penetapan keadaan perang, keadaan bahaya, bencana alam dan sebagainya. Selanjutnya dalam Pasal 2 disebutkan pengecualian dari Pengertian Keputusan Tata Usaha Negara, yaitu :

Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut undang-undang ini :

  1. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata.
  2. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum.
  3. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan.
  4. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana.
  5. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  6. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia;
  7. Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum.

C. Upaya Hukum

1. Upaya Hukum Banding.

Terhadap para pihak yang merasa tidak puas atas putusan yang diberikan pada tingkat pertama (PTUN), berdasarkan ketentuan Pasal 122 UU Peratun terhadap putusan PTUN tersebut dapat dimintakan pemeriksaan banding oleh Penggugat atau Tergugat kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN). Permohonan pemeriksaan banding diajukan secara tertulis oleh pemohon atau kuasanya yang khusus diberi kuasa untuk itu, kepada PTUN yang menjatuhkan putusan tersebut, dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah putusan diberitahukan kepada yang bersangkutan secara patut. Selanjutnya selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sesudah permohonan pemeriksaan banding dicatat, Panitera memberitahukan kepada kedua belah pihak bahwa mereka dapat melihat berkas perkara di Kantor Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dalam tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari setelah mereka menerima pemberitahuan tersebut. Para pihak dapat menyerahkan memori atau kontra memori banding, disertai surat-surat dan bukti kepada Panitera Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersangkutan, dengan ketentuan bahwa salinan memori dan kontra memori banding diberikan kepada pihak lawan dengan perantara Panitera Pengadilan (Pasal 126). Pemeriksaan banding di Pengadilan Tinggi TUN dilakukan sekurang-kurangnya terdiri dari 3 (tiga) orang hakim.

Dalam hal Pengadilan Tinggi TUN berpendapat bahwa pemeriksaan Pengadilan Tata Usaha Negara kurang lengkap, maka Pengadilan Tinggi tersebut dapat mengadakan sendiri untuk pemeriksaan tambahan atau memerintahkan Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersangkutan untuk melaksanakan pemeriksaan tambahan. Setelah pemeriksaan di tingkat banding selesai dan telah diputus oleh Pengadilan Tinggi TUN yang bersangkutan, maka Panitera Pengadilan Tinggi TUN yang bersangkutan, dalam waktu 30 (tiga puluh) hari mengirimkan salinan putusan Pengadilan Tinggi tersebut beserta surat-surat pemeriksaan dan surat-surat lain kepada Pengadilan TUN yang memutus dalam pemeriksaan tingkat pertama, dan selanjutnya meneruskan kepada pihak-pihak yang berkepentingan (Pasal 127). Mengenai pencabutan kembali suatu permohonan banding dapat dilakukan setiap saat sebelum sengketa yang dimohonkan banding itu diputus oleh Pengadilan Tinggi TUN. Setelah diadakannya pencabutan tersebut permohonan pemeriksaan banding tidak dapat diajukan oleh yang bersangkutan, walaupun tenggang waktu untuk mengajukan permohonan pemeriksaan banding belum lampau (Pasal 129).

2. Upaya Hukum Kasasi dan Peninjauan Kembali.

Terhadap putusan pengadilan tingkat Banding dapat dilakukan upaya hukum Kasasi ke Mahkamah Agung RI. Pemeriksaan ditingkat Kasasi diatur dalam pasal 131 UU Peratun, yang menyebutkan bahwa pemeriksaan tingkat terakhir di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dapat dimohonkan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung. Untuk acara pemeriksaan ini dilakukan menurut ketentuan UU No.14 Tahun 1985 Jo. UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.

Menurut Pasal 55 ayat (1) UU Mahkamah Agung, pemeriksaan kasasi untuk perkara yang diputus oleh Pengadilan dilingkungan Pengadilan Agama atau oleh pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dilakukan menurut ketentuan UU ini. Dengan demikian sama halnya dengan ketiga peradilan yang lain, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, dan Peradilan Militer, maka Peradilan Tata Usaha Negara juga berpuncak pada Mahkamah Agung.

Sementara itu apabila masih ada diantara para pihak masih belum puas terhadap putusan Hakim Mahkamah Agung pada tingkat Kasasi, maka dapat ditempuh upaya hukum luar biasa yaitu Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung RI. Pemeriksaan Peninjauan Kembali diatur dalam pasal 132 UU Peratun, yang menyebutkan bahwa : Ayat (1) : “Terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dapat diajukan permohonan Peninjauan Kembali pada Mahkamah Agung.”

Ayat (2) : “Acara pemeriksaan Peninjauan Kembali ini dilakukan menurut ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah. Agung.”

D. PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN

Putusan pengadilan yang dapat dilaksanakan hanyalah putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, demikian ditegaskan dalam Pasal 115 UU Peratun.

Putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap artinya bahwa terhadap putusan tersebut telah tidak ada lagi upaya hukum, atau dapat juga masih ada upaya hukum akan tetapi oleh para pihak upaya hukum tersebut tidak ditempuh dan telah lewat tenggang waktu yang ditentukan oleh UU. Sebagai contoh, putusan PTUN Yogyakarta seharusnya dapat diajukan upaya hukum banding ke PTTUN Surabaya, akan tetapi karena telah lewat waktu 14 hari sebagaimana yang ditetapkan UU, para pihak tidak ada yang mengajukan upaya hukum tersebut, sehingga putusan PTUN Yogyakarta tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang kemudian dapat diajukan permohonan eksekusinya. Mengenai mekanisme atau prosedur eksekusi ini diatur dalam Pasal 116 s/d 119 UU Peratun. Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian sebelumnya, dengan lahirnya UU No. 9 Tahun 2004, putusan Peratun telah mempunyai kekuatan eksekutabel. Hal ini dikarenakan adanya sanksi berupa dwangsom dan sanksi administratif serta publikasi terhadap Badan atau Pejabat TUN (Tergugat) yang tidak mau melaksanakan putusan Peratun.

Lebih lanjut Pasal 116 UU No. 9 Tahun 2004, menyebutkan prosedur eksekusi di Peratun, sebagai berikut : (1) Salinan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat oleh Panitera Pengadilan setempat atas perintah Ketua Pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat pertama selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari.
(2) Dalam hal 4 (empat) bulan setelah putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikirimkan, Tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf a, Keputusan yang diperseketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.
(3) Dalam hal Tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) haruf b dan huruf c, dan kemudian setelah 3 (tiga) bulan ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakannya, penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) agar Pengadilan memerintahkan Tergugat melaksanakan putusan Pengadilan tersebut.
(4) Dalam hal Tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif.
(5) Pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diumumkan pada media massa cetak setempat oleh Panitera sejak tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Peradilan Tata Usaha Negara berkaitan erat dengan Hak-hak Asasi Manusia (HAM), karena ia menyelesaikan sengketa antara warga Negara dengan pemerintah melalui alat-alatnya. Di dalam Undang-Undang nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, Pasal 10 ayat (1), dijelaskan bahwa dasar hukum dibentuknya Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia merupakan salah satu aspek pelaksanaan Deklarasi Hak-Hak Asasi Manusia (The Universal Declaration of Human Rights) yang telah dicetuskan oleh PBB.

Peradilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu dari empat lembaga lembaga Peradilan di bawah Mahkamah Agung, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara. Sedangkan yang menjadi dasar hukum pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara adalah pasal 24 Undang-Undang Dasar Negra Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi:

(1) Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain Badan Kehakiman menurut Undang-Undang,

(2) Susunan dan Badan-Badan Kehakiman itu diatur dengan Undang-Undang.

Sebagai peraturan pelaksan dari pasal 24 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut, maka diundangkanlah Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 Jo. Undang-undang Nomor Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam pasal 10 ayat (1) disebutkan:

“Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan:

a. Peradilan Umum,

b. Peradilan Agama,

c. Peradilan Militer, dan

d. Peradilan Tata Usaha Negara.

Dari bunyi pasal tersebut di atas, maka jelaslah bagi kita bahwa dasar hukum pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara yang bebas dan mandiri ternyata cukup kuat, sama halnya dengan ketiga lembaga Peradilan lainnya yang sudah lama ada, yaitu Peradilan Umum, Peradilan sAgama, dan Peradilan Militer.

Secara Keseluruhan sebenarnya terdapat beberapa dampak positif yang akan dihasilkan oleh suatu Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara tersbut, antara lain:

Pertama, bahwa para Pejabat Pemerintahan akan lebih berhati-hati dalam melakukan tindakan-tindakan, karena mereka dibayang-bayangi oleh adanya sanksi apabila melakukan tindakan yang tidak benar. Bersama dengan Undang-undang mengenai tindak pidana, Undang-undang di bidang Administrasi ini akan sangat mengurangi peluang-peluang bagi penyimpangan.

Kedua, bahwa aparat Pemerintah dengan sendirinya akan semakin meningkatkan mutu profesinya. Mereka yang malas akan menjadi rajin, karena itulah salah satu jalan agar tidak melakukan kesalahan. Mau tidak mau baik aparat pemerintahan maupun aparat penegak hukum harus belajar mengenai hukum administrasi. Mempelajari sampai sejauh mana hak-haknya dan sampai sejauh mana hak-hak rakyat.

Ketiga, bahwa Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara akan memberikan pula dampak positif yang berupa peningkatan integritas moral. Dengan adanya Undang-Undang Peradilan tata Usaha Negara tersebut, maka Pejabat akan berfikir dua kali sebelum melakukan kesalahan. Otomatis akan meningkatkan moral.

Keempat, bahwa hak-hak rakyat sudah lebih terjamin. Aparat yang tidak bertanggung jawab, tidak punya kekuasaan untuk melakukan hal-hal yang merugikan kepentingan rakyat. Dan di lain pihak, rakyat pun dengan sendirinya akan mengetahui apabila suatu waktu haknya dilanggar dan mereka hendak menggugat. Karena berkepentingan, maka rakyat juga didorong untuk belajar agar mampu menjaga hak-haknya apabila sewaktu-waktu dilanggar. Dengan kata lain, bahwa rakyat ikut serta bersama pemerintah dalam hal memajukan atau meningkatkan kesadaran hukum.

Kelima, bahwa Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara ini dapat memperbaiki lingkungan Administrasi Negara dari pusat sampai ke desa-desa., karena baik Pemerintah maupun rakyat sudah bekerja sesuai dengan pola-pola tata hukum yang telah ada.

Ada beberapa alasan yang dapat digunakan untuk bisa menggugat perorangan atau Badan Hukum Privat yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut (vide pasal 53 ayat (2)), yaitu:

1. Apabila suatu Keputusan Badan atau Pejabat bertentangan dengan peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.

2. Apabila badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan Keputusan tersebut telah menggunakan wewenangnya untuk maksud lain dari maksud-maksud diberikannya wewenang tersebut.

3. Apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan Keputusan tersebut telah mempertimbangkan semua kepentingan-kepentingan yang berkaitan dengan itu seharusnya tidak sampai pada pengambilan keputusan yang terjadi.

B. Saran

Berdasarkan hasil kajian, kesimpulan yang telah dikemukakan, maka diajukan saran sebagai berikut :

Pertama, hendaknya pemerintah memperbanyak melakukan sosialisasi kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tentang fungsi dan tugas mereka,agar dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya tidak sewenang-wenang menurut kehendak mereka sendiri yang dapat merugikan masyarakat umum.

Kedua, Pemerintah harus lebih memperbanyak memberikan pelatihan-pelatihan yang berkaitan Hukum Administrasi.

Ketiga, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang melakukan pelanggaran Hukum Administrasi ditindak tegas sesuai dengan Perundang-Undangan yang berlaku agar memberikan efek jera kepada mereka yang melakukan tindakan sewenang-wenang serta mencegah agar Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang belum melakukan tindakan yang sewenang-wenang.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Rozali, SH., 1996. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, cet. IV (edisi I), Jakarta, PT Raja Grafindo.

Alam, Nur, SH., M.Si, dan Hermon Harun, Drs., 2005. Himpunan Undang – Undang Kepegawaian 2002 – 2004, Reformasi Administrasi Publik, Jakarta, PT. Raja Grafindo.

Amrah, Muslimin. 1995. Beberapa Asas Dan Pengertian Pokok Tentang Administrasi Dan Hukum Administrasi, Bandung, Alumni.

Atmosoedirjo, Prajudi. 1981, Hukum Administrasi Negara, Cet. Ke Empat, Jakarta Ghalia Indonesia.

Bastoemi, T. 1994.Hukum Perdata Dan Hukum Tata Usaha NegaraDalam Teori Dan Praktek. Cet. Pertama. Bandung, Alumni.

Djokosutono, 1982, Hukum Tata Negara, (dihimpun oleh Harun Alrasyid), Jakarta, Ghalia Indonesia.

G.J. Wolhoff, 1960. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Jakarta, Timun Mas.

Indroharto, 1991, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Tata Usaha Negara. Cet. Ketiga, Jakarta.

Kansil, C.S.T., SH., Drs., 1989, Pegantar Ilmu hukum dan Tata Hukum Indonesia, Cet. Kedelapan, Jakarta, PN. Balai Pustaka.

Lopa, Baharuddin, Prof., Dr., SH. Dan Hamzah, A., SH., Dr., 1993, Mengenal Peradilan Tata Usaha Negara, Cet. Kedua, Jakarta, Sinar Grafika.

Mahfud, Mohammad, 2007, Perdebatan Hukum Tata Negara: Pasca Amandemen Konstitusi, Jakarta, Pustaka LP3ES.

Manan, Bagir, Prof. Dr. SH., 2006, Tugas Hakim : Antara Melaksanakan Fungsi Hukum dan Tujuan Hukum. (Sambutan Ketua Mahkamah Agung pada Peresmian Pengadilan Tinggi Agama Ternate. Tanggal, 18 April 2006.)

Mangkudilaga, Benyamin, 1986, Kompetensi Relatif Dan Absolut Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, Bandung, Angkasa.

----------------,1998, PTUN, Berpihak Pada Siapa?, Majalah D & R edisi 17 Januari 1998.

Muchsan, 1981, Peradilan Administrasi Negara, Yogyakarta, Liberty.

-------------, 2000, Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, Yogyakarta, Liberty.

Prins, W.F., Mr. dan Adisapoetra, R. Kosim, 1982, Pengantar Ilmu Hukum Administrasi Negara, Cet. Keempat. Jakarta, Pradnya Paramita.

Projodikoro, Wirjono, 1989, Azas – Azas Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta, Dian Rakyat.

Sanusi, Ahmad, 1977, Pengantar Ilmu Hukum Dan Pengantar Tata Hukum Indonesia, Bandung, Tarsito, 1977

Situmorang, Victor, SH. Dkk, 1987, Pokok – Pokok Peradilan Tata Usaha Negara,Cet. I, Jakarta, Bina Aksara.

Soebekti, R. 1984. Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta. Intermasa.

Soetami, A., Siti, SH., 2005, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Cet. keempat (edisi revisi), Bandung, PT. Rafika Aditama.

Sudarsono, Drs., SH., Dkk., 1994, Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, Mahkamah Agung Dan Peradilan Tata Usaha Negara, Cet. I, Jakarta, Rineka Cipta.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengemmbangan Bahasa, 1990, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. Ketiga (edisi Kedua), Jakarta, PN. Balai Pustaka.

Undang – Undang RI Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha sNegara, Indonesia Legal Center Publishing, 2006

Undang – Undang RI Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Indonesia Legal Publishing Center, 2006

Undang – Undang RI Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Surabaya, Trinity Optima Media, 2005

Zaini, Hasan, 1974, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Bandung, Alumni.

WEBSITE :

http://hukumonline.com/detail.asp?id=16761&cl=Berita

www.badilag.net

www.google.com

www.yahoo.com


[1]Suryanti Hartono, 1976, h. 18-19

[2]Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), h. 124.

[3]Ibid., h. 125.

[4]Ibid

[5]Soebekti R., Pokok-Pokok Hukum Perdata.( Jakarta: Intermasa, 1984), h. 19.

[6] Ibid, h. 21.

[7] Martiman Prodjodihardjo, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Jakarta, 1993. H. 33

[8]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI., Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi II (Cet. II; Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h. 1010.

[9]Ibid. h. 6-7.

[10] Ibid. h. 816.

[11]Pasal 2 Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jo. Undang – Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

[12] Indroharto, Perbuatan Pemerintah Menurut Hukum Publik Dan Hukum Perdata, Lembaga Penelitian dan Pengembangan Hukum Administrasi Negara, Bogor-Jakarta 1995. Hlm. 16-17.

13Irwan Tjanra, Hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara, UAJY, Yogyakarta, 1996. Hal 1

[14]Pasal 123 Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara.

[15] Pasal 125

[16] Pasal 127 Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara.

[17] Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jo. Undang-Undang No. 9 Tahun 2004.

[18]Utrecht, E., Pengantar Hukum administrasi Indonesia, (Jakarta, Ikhtiar, 1964), h. 207.